Lo Kheng Hong adalah salah satu di antaranya. Kerugian ini boleh dibilang telak, sebab ia berhenti bekerja dan memutuskan untuk fokus pada investasi saham pada 1996, dan saat krisis melanda asernya tersisa 15% saja.
Namun Lo Kheng Hong tetap berupaya mencari peluang di tengah krisis tersebut. Berbanding terbalik dengan investir yang angkat kaki dari pasar modal, ia justru mencari-cari saham undervalue yang potensial.
Pilihannya jatuh pada PT United Tractors Tbk (UNTR), emiten distributor utama alat-alat berat pertambangan merek Komatsu di Indonesia. Ia membeli 6 juta lembar saham UNTR di harga Rp250 dengan semua sisa modalnya yang tersisa Rp1,5 miliar.
Pak Lo memilih UNTR karena ia mempelajari fundamental emiten secara teliti. Saat itu, total aset UNTR adalah Rp3,8 triliun, jumlah saham yang beredar mencapai 138 juta. Dengan harga saham Rp250, artinya kapitalisasi pasar UNTR pada 1998 hanya Rp34,5 miliar.
Padahal, pendapatan UNTR bisa mencapai triliunan rupiah, laba usahanya saja Rp1 triliun. Lantas apa yang menghambat bisnis UNTR saat itu? Nilai tukar yang sangat melemah. Transaksi UNTR menggunakan dolar, sehingga emiten itu mesti kerugian kurs Rp1,7 triliun.