“Ada ibu-ibu pernah tanya, ‘Kenapa namanya kok jelek sekali ‘blenger’, mas?’ Saya bilang ‘Sudah ibu makan saja, nanti akan tahu kenapa saya namai begitu.’ Saya yakin di gigitan terakhir orang akan tahu kenapa saya kasih nama Blenger,” tutur Erik.
Blenger adalah bahasa Jawa, yang jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti sangat kenyang, atau kekenyangan. ‘Aku blenger’ seringkali diucapkan ketika seseorang terlalu banyak makan, atau menyantap makanan yang cepat bikin kenyang.
Saat pertama kali meluncurkan bisnisnya, Erik membuka kios burger kecil berukuran 2 x 1 meter di pinggir jalan, tepatnya di Barito (area Blok M, Jakarta Selatan). Usaha itu dimulainya dengan modal Rp7 juta saja.
Pada 2004, harga Blenger Burger tentu masih lebih murah dibanding harga sekarang. Mengutip catatan Okezone Finance, pada 2016 harga burger yang dijualnya mulai Rp12.000-an, dan saat itu Erik sudah mampu menjual 5.000 porsi setiap hari.
Berarti pada 2016, omzet yang dikantonginya dalam satu hari bisa mencapai Rp60 juta, dan jika dikalikan sebulan dengan asumsi penjualan stabil di angka 5.000 porsi, Erik bisa menghasilkan penjualan sebesar Rp1,8 miliar.