“Dulu mah pernah diolok-olok, kata orang, ‘ngapain kerja begini (hidroponik). Mending juga kerja di pabrik, daripada panas-panasan, yang sudah-sudah juga banyak yang berhenti,’” katanya.
Namun cibiran itu tidak membuatnya patah arang. Regi justru ingin membuktikan bahwa petani pun bisa sukses. Usahanya membuahkan hasil, upayanya untuk bercocok tanam itu dilirik oleh kepala desa setempat.
Saat itu, presiden memerintahkan kepala desa untuk menyisihkan dana desa untuk pemberdayaan, dan kepala desanya memilih aktivitasnya bercocok tanam hidroponik untuk alokasi dana desa.
Dari situ, Regi mendapatkan dukungan berupa 2.000 lubang untuk hidroponik. Dia dan rekannya mengembangkan selada hidroponik dari nol hingga terbentuk komunitas besar. Dari 2.000 lubang hingga berkembang menjadi 6.000 lubang.
Upayanya untuk mengembangkan selada hidroponik pun tidak mudah, dia sempat gagal mencatatkan balik modal. Dari 2.000 lubang, dia hanya mendapatkan Rp200.000, karena belum menemukan formula penanaman dan bibit yang bagus, akunya.