IDXChannel – Kisah Teuku Markam, seorang pengusaha asal Aceh yang disebut sebagai crazy rich pertama di Indonesia memiliki akhir hidup yang tragis.
Teuku Markam adalah pengusaha kaya di era Presiden Soekarno. Kesuksesannya sebagai pengusaha bahkan membuatnya dikabarkan menyumbangkan emas seberat 28 kg dalam pembangunan tugu Monumen Nasional (Monas) karya arsitek Frederich Silaban.
Sayangnya, kekayaan dan kesuksesan Teuku Markam tidak bertahan sampai akhir. Teuku Markam harus melepaskan semua kekayaannya dan memiliki akhir hidup yang tragis. Seperti apa kisah Teuku Markam ini? Berikut ulasan lengkapnya.
Kisah Teuku Markam
Kisah Teuku Markam termaktub dalam Seri Informasi Sejarah nomor 21/2011 Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Banda Aceh yang disusun Hasbullah. Teuku Markam merupakan seorang uleebalang (bangsawan) di Aceh.
Ia diperkirakan lahir pada 1924. Dari kecil, ia telah menjadi seorang yatim piatu. Ayahnya meninggal dunia ketika ia berusia sembilan tahun. Sementara itu, ibunya telah lebih dulu meninggal dunia. Ia kemudian hidup bersama sang kakak, Cut Nyak Putroe. Meski seorang keturunan bangsawan, namun Teuku Markam hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 4 Sekolah Rakyat (SR).
Memasuki masa remaja, Teuku Markam masuk pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh). Ia berhasil menamatkan pendidikannya dengan pangkat Lentan Satu.
Selanjutnya, Teuku Markam bergabung untuk membela negara dari penjajahan dengan ikut Pertempuran Medan Area di Tembung, Sumatera Utara. Ia bergabung bersama Kolonel Bejo, Kaharudin Nasution, Bustanil Arifin, dan yang lainnya. Teuku Markam aktif di berbagai pertempuran. Ia juga sempat berperan dalam mendamaikan perselisihan antara pasukan Manaf Lubis dengan pasukan Simbolon.
Teuku Markam lantas diutus ke Jakarta dan selanjutnya diutus ke Bandung dan ditugaskan menjadi ajudan Jenderal Gatot Subroto. Jenderal Gatot Subroto inilah yang memperkenalkan Teuku Markam dengan Presiden Soekarno kala itu. Teuku Markam berhasil menjalankan tugasnya hingga Jenderal Gatot Subroto meninggal.
Pada 1957, Teuku Markam memutuskan untuk meninggalkan militer dan terjun menjadi pengusaha. Hal ini juga didorong oleh keinginan Presiden Soekarno yang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menangani masalah perekonomian Indonesia.
Meski sempat ditahan atas sengketa yang terjadi antara dirinya dengan Teuku Hamzah, namun Teuku Markam berhasil membawa bendera PT Karkam ke Jakarta pada 1958 usai dirinya bebas. Perusahaan ini dipercaya oleh pemerintah Orde Lama untuk mengelola senjata rampasan perang agar dijadikan dana revolusi.
Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia bisnis dengan sejumlah aset yang dimilikinya berupa kapal dan dok kapal yang ada di Palembang, Makassar, Medan, Surabaya, dan Jakarta. Bisnis Teuku Markam pun semakin meluas hingga ia mampu melebarkan sayapnya ke sektor ekspor-impor.
Perusahaannya berhasil mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, plat baja, besi beton, serta senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan juga Presiden.
Dalam buku Indonesia: The Rise of Capital (2009), Richard Robinson menyebut bahwa perusahaan Karkam milik Teuku Markam juga tercatat menjadi perusahaan satu-satunya yang memiliki hak eksklusif ekspor karet dari Sumatera Selatan ke Malaysia dan Singapura selama masa konfrontasi antara 1960-1963. PT Karkam juga memegang lisensi proyek besar dari negara yakni impor Nissan Jeep dan Semen Asano dari Jepang.
Bisnis Teuku Markam berjalan sukses hingga membuatnya menjadi pengusaha kaya raya dengan aset jutaan dollar AS. Ia pun turut menyumbangkan 28 kg emas yang saat ini bisa dilihat di pucuk tugu Monas.
Tak hanya itu, Teuku Markam juga ikut serta dalam proses pembebasan lahan Senayan untuk menjadi pusat olahraga. Ia juga turut andil membiayai berbagai hal yang berkaitan dengan upaya melepaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Salah satunya ikut serta menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika.
Akan tetapi kejayaan Teuku Markam berubah drastis pada masa Orde Baru. Peran dan sumbangan Teuku Markam seakan tidak berarti apa-apa ketika Orde Baru naik tahta. Ia dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia dan G30S/ PKI.