Apalagi, beberapa barang yang kerap diimpor oleh AS dari Indonesia, sulit diproduksi secara mandiri oleh negeri Paman Sam. Misalnya produk pakaian dan aksesorisnya, akan sulit diproduksi oleh AS karena ketiadaan tenaga kerja murah seperti di Indonesia.
"Jadi tarif Trump ini akhirnya akan dirasakan warga AS sebagai inflasi. Inilah yang kemudian direspons negatif oleh bursa Wallstreet dengan anjlok setelah pengumuman tarif Trump," ujarnya.
Atas kondisi ini, dia menilai dampak tarif Trump terhadap kinerja keuangan emiten di Indonesia akan lebih terukur, dibandingkan negara lain yang mengandalkan ekspor. "Mungkin ada dampaknya kepada emiten yang fokus ekspor ke AS, namun bagi emiten yang masih fokus ke dalam negeri, tentu dampaknya ke kinerja keuangan akan lebih terbatas," ujarnya.
Meski demikian, dia mengingatkan bursa saham di Indonesia dan negara lain masih bergerak dengan volatilitas tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh ekspektasi pelaku usaha bahwa perang dagang ini akan meluas, seperti aksi balasan penerapan tarif bea masuk oleh negara lain.
"Jadi yang mempengaruhi pergerakan bursa saat ini lebih kepada ekspektasi negatif yang belum tentu terjadi dan sering kali berlebihan,” ujarnya