Meski begitu, ambisi agar geothermal menggantikan panas bumi harus mendapat dukungan pemerintah. Terlebih lagi target tersebut sejalan dengan target pemerintah mencapai net zero emission (NZE) pada 2060.
“Ini akan bergantung pada regulasi. Kalau dari kami, semua proyek-proyek dimasukkan ke dalam plan PLN,” ujarnya.
PGEO pun terus menambah kapasitas listrik terpasang dari panas bumi untuk meraih asa menggantikan batu bara dengan panas bumi. Perseroan menargetkan bisa menambah kapasitas listrik terpasang dari panas bumi mencapai 1 Gigawatt (GW) dalam dua tahun.
Saat ini, kapasitas terpasang PGEO mencapai sekitar 672 megawatt (MW). Dalam dua tahun, perseroan bakal mengejar penambahan kapasitas hingga 340 MW sehingga menjadi 1 Gigawatt (GW).
Julfi mengatakan salah satu faktor yang bisa mendukung tercapainya target tersebut yaitu Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Menurut dia, Perpres itu bisa mendorong pelaku industri untuk menggarap potensi-potensi geothermal di Indonesia. Di sisi lain, PGEO terus memaksimalkan potensi-potensi panas bumi yang ada dengan lebih efisien dan cepat.
Sehingga proyek-proyek geothermal yang masuk dalam pipeline 1GW sudah siap untuk dikomersialkan, seperti Lumut Balai, Hululais, dan Sungai Penuh.
“Proyek-proyek yang dimasukkan dalam 1GW, semua ada di surface atau well head. Sehingga tidak perlu lama-lama, dengan teknologi bisa accelerate dari 18 bulan jadi 12 bulan,” ujarnya.
Di sisi lain, untuk menciptakan nilai tambah agar proyek yang akan dioperasikan cukup komersil, PGEO juga menciptakan secondary product seperti green hydrogen dan green methanol.
Selain itu, pihaknya menggandeng sejumlah vendor untuk bisa menggunakan teknologi terkini yang dapat membawa proyek panas bumi PGEO bisa segera masuk commercial on date (COD). Dengan begitu, seluruh energi geothermal yang diekstrak bisa menghasilkan megawatt yang lebih banyak dengan biaya yang lebih efisien.
(FRI)