IDXChannel –Investor asing tercatat masih melego saham emiten big cap seiring masih melemahnya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama Desember ini.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI) per penutupan sesi I, Selasa (20/12), dalam sepekan belakangan investor asing mencatatkan net sell atau jual bersih di pasar reguler sebesar Rp2,60 triliun. Sedangkan dalam sebulan terakhir, angka net sell investor asing mencapai Rp14,72 triliun.
Aksi jual dari investor asing turut berpengaruh terhadap melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam sepekan hingga sebulan terakhir.
Melansir data BEI pada Selasa (20/12) pada penutupan sesi I, performa IHSG dalam sepekan terakhir turun hingga 1,19 persen. Sedangkan dalam sebulan belakangan, kinerja IHSG juga merosot hingga 4,29 persen.
Penurunan IHSG selama Desember ini turut membawa pertanyaan soal apakah efek window dressing akan terasa kali ini atau malah tidak sama sekali.
Adapun sejumlah emiten big cap tak lepas dari aksi lego asing. Emiten big cap yang paling banyak dilego asing dalam sepekan hingga sebulan belakangan adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Astra International Tbk (ASII), hingga PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM). (Lihat tabel di bawah ini.)
BEI menyebutkan, per penutupan sesi I, Selasa (20/12), dalam sepekan terakhir asing melego BBCA di pasar reguler hingga Rp672,41 miliar. Sedangkan dalam sebulan belakangan, angka net sell asing di pasar reguler dari emiten ini mencapai Rp4,29 triliun.
Menyusul BBCA, dalam saham ASII juga banyak dilego asing dalam sepekan di pasar reguler, yakni mencapai Rp291,91 miliar. Sementara saham ASII dalam sebulan terakhir juga kena jual asing di pasar reguler sebesar Rp2,12 triliun.
Tak hanya itu, saham TLKM juga kena jual asing dalam sepekan dan sebulan terakhir di pasar reguler dalam jumlah jumbo. Adapun dalam sepekan terakhir nilai net sellinvestor asing dari emiten ini mencapai Rp227,5 miliar dan dalam sebulan mencapai Rp2,32 triliun.
Selain emiten di atas, emiten big cap yang tak luput dari aksi jual investor asing adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).
Melansir data BEI pada periode yang sama, investor asing tercatat melego saham BMRI sebesar Rp170,51 miliar di pasar reguler dalam seminggu terakhir. Sedangkan dalam sebulan terakhir angka tersebut mencapai Rp1,55 triliun.
Sementara angka net sell selama sepekan dan sebulan di pasar reguler dari GOTO masing-masing sebesar Rp257,24 miliar dan Rp1,16 triliun.
Terakhir, emiten yang sahamnya turut dilego oleh investor asing di pasar reguler adalah BBNI dengan nilai net selldalam sepekan dan sebulan sebesar Rp207,04 miliar dan Rp449,81 miliar.
Gencarnya investor asing dalam melego saham emiten-emiten big cap tersebut berpotensi menyebabkan pasar saham tidak ‘kecipratan’ fenomena Santa Claus Rally di tahun 2022.
Informasi saja, Santa Claus Rally adalah fenomena di mana nilai pasar saham cenderung meningkat dalam seminggu terakhir di bulan Desember hingga dua hari pertama pada saat tahun baru.
Potensi Saham Emerging Market di 2023
Kendati akhir tahun ini IHSG cenderung melemah, saham di negara emerging market-- negara berkembang dengan ekonomi rendah menuju ke level menengah--punya potensi yang menarik di tahun 2023.
Menurut riset Franklin Templeton bertajuk “2023 Outlook: Several Catalysts Point to Potential Rebound in Emerging Market Equitiesin 2023” yang dirilis pada Desember, selama 2022 negara berkembang mampu bertahan menghadapi penguatan dolar AS yang signifikan tercermin dari kinerja saham yang positif.
Adapun menurut riset tersebut, kinerja mata uang dan pasar saham di Indonesia dibanding MSCI World secara year to date (YTD) per November 2022 berada di peringkat ke tiga setelah Chile dan Brazil yakni sebesar 23,2 persen.
Tak hanya itu, Indonesia juga mengungguli India, Taiwan, Korea, hingga China.
“Tren kinerja tersebut mencerminkan reformasi ekonomi dari sebelumnya yang lebih tinggi dari permintaan domestik di India dan Indonesia,” tulis riset tersebut.
Sedangkan di Brazil, fundamental yang kokoh dalam menaikkan suku bunga memungkinkan pasar dapat mengungguli MSCI World Index dan memperkuatnilai mata uang lokalnya terhadap USD.
Sementara China menghadapi kontraksi sebagai pengaruh dari kebijakan zeroCovid, disusul dengan Korea Selatan dan Taiwan yang terpukul oleh perlambatan permintaan semikonduktor karena bergantung pada perdagangan global.
Untuk tahun 2023, riset Franklin Templeton memperkirakan tahun tersebut akan menguntungkan bagi emerging market ditopang dengan ketahanan ekonomi masing-masing negara dan permintaan domestik yang kuat.
Kendati demikian, terdapat sejumlah faktor risiko yang perlu dipertimbangkan, seperti penurunan dari nilai investasi, harga saham yang berfluktuasi, hingga kondisi pasar dan industri secara umum kedepannya.
“Terkait investasi asing, terdapat risiko khusus termasuk fluktuasi mata uang, ketidakstabilan ekonomi, dan perkembangan politik,” tulis Franklin Templeton.
Di samping itu, investasi di pasar negara berkembang juga punya risiko yang tinggi terkait dengan ukuran pasar yang lebih kecil hingga likuiditas yang lebih rendah.
Periset: Melati Kristina
(ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.