IDXChannel - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) begitu yakin potensi bisnisnya ke depan sangat menjanjikan.
Keyakinan tersebut didasarkan pada tren kesadaran masyarakat global terhadap pentingnya menggunakan energi bersih non-fosil, di mana salah satunya adalah energi panas bumi yang notabene menjadi bisnis utama PGEO.
Meski demikian, dengan besarnya potensi yang tersedia di pasar, sejumlah risiko dan tantangan diperkirakan juga melekat pada kinerja anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut.
Prediksi ini didasarkan pada laporan keuangan PGEO untuk tahun buku 2022 lalu, di mana posisi saldo modal kerja (working capital) perusahaan tercatat masih negatif.
Hingga akhir tahun lalu, nilai saldo modal kerja PGEO tercatat masih minus USD424.475. Meski nilai tersebut relatif kecil, namun posisi minus tetap menunjukkan bahwa utang lancar perusahaan masih lebih besar dibanding aset lancar yang dimiliki.
Sedangkan pada saat yang sama, total utang PGEO mencapai USD943,28 juta, yang terdiri dari pinjaman bank jangka panjang setelah dikurangi bagian yang akan jatuh tempo dalam satu tahun senilai USD327,7 juta.
Sementara utang jangka pendek atau utang lancar perseroan tercatat masih sekitar USD615,58 juta.
"Sedikitnya ada tiga risiko yang harus dihadapi ketika modal kerja negatif. Pertama yaitu risiko likuiditas, di mana perusahaan akan kesulitan menghadapi kondisi eksternal, seperti penagihan utang jatuh tempo," ujar Kepala Riset Praus Capital, Marolop Alfred Nainggolan, Kamis (18/5/2023).
Menurut Alfred, kondisi seperti ini dapat membuat kondisi perusahaan memburuk. Dengan kata lain, perusahaan dengan modal kerja negatif lebih sulit saat menghadapi turbulensi dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki modal kerja positif.
"Ketika perusahaan dengan likuiditas tidak baik, maka akan semakin berisiko terhadap faktor-faktor atau risiko ke depannya," tutur Alfred.
Bahkan, Alfred menjelaskan, kondisi perusahaan dengan modal kerja negatif juga lebih berisiko default.
Meski manajemen mengklaim mendapat dukungan dari PT Pertamina (Persero) sebagai induk usaha, namun risiko default tetap membayangi dan relatif lebih besar dibanding dengan perusahaan dengan modal kerja positif.
Sedangkan risiko kedua, disebut Alfred, terdapat risiko pendanaan operasional yang harus dihadapi PGEO menyusul kas yang idle.
"Modal kerja negatif juga dapat mempersempit perseroan dari sisi operasional, sehingga pergerakan PGEO untuk menjalankan bisnis atau ekspansi menjadi terbatas," ungkap Alfred.
Sementara risiko ketiga, lanjut Alfred, adalah persepsi negatif dari para stakeholder, sehingga berpotensi memberikan sentimen buruk terhadap pelaku pasar.
Jika sudah demikian, dampak negatif juga bisa saja merembet hingga ke kinerja saham PGEO di bursa saham nasional.
"Karena informasi terkait kondisi ini dilaporkan sendiri oleh manajemen dan dibaca oleh stakeholder. Maka tentu mereka akan melihat kondisi modal kerja negatif ini sebagai gambaran yang tidak bagus," tegas Alfred. (TSA)