Bank Indonesia (BI) mulai melempar sinyal bahwa kenaikan suku bunga 25 bps pada Januari bisa menjadi kenaikan terakhir untuk tahun ini. Ke depan, BI diyakini masih akan menahan suku bunga tetap tinggi untuk memastikan inflasi tetap terkendali.
Sejauh ini tren kenaikan suku bunga dikhawatirkan bakal menggerus profitabilitas bank, terutama bank digital. Anggapan ini didasarkan pada fakta bahwa banyak dari para pemain bank digital yang menawarkan suku bunga simpanan yang cukup tinggi.
“Digital bank selama ini memang agresif untuk meraih funding sehingga menawarkan suku bunga yang menarik. Namun ketika suku bunga naik, ini bisa menjadi tantangan sekaligus problem, karena dapat meningkatkan cost of fund dan menekan NIM (net interest margin),” ujar Analis MNC Sekuritas, Tirta Citradi.
Menurut Tirta, perbankan yang memiliki struktur pendanaan sehat dengan porsi dana murah yang tinggi akan lebih diuntungkan dengan kondisi suku bunga yang melambung. Sejauh ini struktur dana murah bank-bank digital memang cenderung beragam.
Ada bank digital yang memiliki rasio dana murah di bawah 10 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK). Hal ini terjadi pada Allo Bank (BBHI). Namun ada juga bank digital dengan rasio dana murah mencapai lebih dari 50 persen dari DPK, seperti pada Bank Jago (ARTO), dengan mengacu pada laporan keuangan bulanan November 2022.
Dana murah sendiri merupakan istilah untuk Dana Pihak Ketiga (DPK) yang terdiri dari giro dan tabungan. Kelompok DPK ini disebut dana murah karena bunga yang diberikan kepada nasabah jauh lebih rendah dibanding bunga deposito, yang notabene disebut sebagai dana mahal. Dana murah yang kemudian disebut sebgai CASA ini relatif lebih fleksibel untuk ditarik oleh nasabah kapan saja tidak seperti deposito. (TSA)