IDXChannel - Indeks saham utama bursa negeri Paman Sam, S&P 500 diramalkan masih akan mengalami bearish hingga tahun depan.
S&P 500 sendiri merupakan indeks utama di bursa Amerika Serikat (AS) yang terdiri dari 500 perusahaan yang menerbitkan total 503 saham hingga akhir September 2022.
Perusahaan yang terdaftar di S&P 500 mewakili perusahaan teratas dalam industri terkait dan merupakan penopang aktivitas ekonomi AS.
Meski demikian, perusahaan yang ingin melantai di S&P 500 juga harus memenuhi persyaratan khusus.
Hingga 10 Oktober 2022, dari 25 emiten pada indeks S&P 500 terbesar berdasarkan bobot sahamnya masih dikuasai oleh perusahaan yang didirikan Steve Jobs, Apple (AAPL) dengan bobot saham 6,99%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Adapun sebanyak 10 investor dengan kepemilikan terbesar teratas di indeks ini akan terdaftar di situs web resmi S&P Global.
Sementara, hingga 4 Oktober 2022, 10 kepemilikan teratas atau top holdings S&P 500 dikuasai di antaranya oleh Apple (AAPL), Microsoft (MSFT), Amazon (AMZN), Tesla (TSLA), Alphabet, Berkshire Hathaway Class B (BRK.B), UnitedHealth Group (UNH), Johnson & Johnson (JNJ), dan Exxon Mobil (XOM).
Kinerja S&P 500 Sepanjang 2022
Kinerja S&P 500 sepanjang tahun ini telah terkoreksi hingga minus 17,45% secara year to date (YTD). Kondisi ini menjadi penurunan tertajam saham tekemuka AS ini.
Sementara di tahun pandemi 2020 hingga tahun lalu, kinerja S&P 500 masih positif di angka 16,26% dan 26,89%. Meskipun angka tersebut masih di bawah level pra pandemi. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sumber: Macrotrends, diolah tim riset IDX Channel, Desember 2022
Dalam analisis teknikal, jika suatu saham telah mencapai titik terendah atau dalam istilahnya bottomed out, itu berarti telah mencapai titik terendahnya dan bisa jadi berada pada tahap awal tren naik.
Seringkali bottomed out bisa menjadi sinyal pembalikan. Investor sering melihat titik terendah sebagai peluang untuk membeli saham saat harga saham di bawah harga atau diperdagangkan pada nilai terendahnya.
Namun, ahli strategi di lembaga keuangan Goldman Sachs meramalkan S&P 500 bisa kembali jatuh hingga 20% jika AS memasuki resesi tahun depan.