Pasalnya, kontribusi market cap BREN saat itu sebesar 10 persen terhadap IHSG. Bahkan saham energi baru dan terbarukan (EBT) itu menyentuh Auto Reject Bawah (ARB) selama tiga hari beruntun.
Efek pelemahan saham BREN merembet ke saham Grup Barito lain, seperti PTRO, CUAN, dan BRPT. Saham-saham tersebut ikut babak belur.
Setelah berhari-hari merana, saham BREN bangkit. Sampai-sampai mentok Auto Reject Atas (ARA) dan mampu mengangkat IHSG balik ke level 7.000 pada awal Juni.
Sayangnya tak berlangsung lama, indeks kembali jebol lebih dari dua persen menyusul batal masuknya saham BREN ke indeks FTSE Global Equity untuk Large Cap. BREN masuk dalam evaluasi FTSE Russell karena dalam papan pemantauan khusus pada 29 Mei.
Dalam papan pemantauan khusus, saham BREN diperdagangkan dengan mekanisme FCA, sehingga tidak bisa ditransaksikan secara reguler di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sentimen tersebut menyeret IHSG terus ke bawah meskipun sang pengendali Prajogo Pangestu turun gunung memborong 37,84 juta saham BREN pada 10 Juni dengan merogoh kocek Rp208,17 miliar.
Pelemahan indeks bertahan, namun akhir Juni, IHSG bangkit lagi ke level 7.000 karena masuknya dana asing ke pasar saham.