Selain itu, tambahnya, ancaman ini bisa diredam apabila pemerintah bisa mengoptimalkan anggaran belanja negara atau daerah untuk membeli produk-produk asli Indonesia.
Sarman meyakini, jika itu mampu diwujudkan maka daya tahan ekonomi Indonesia akan sangat kuat menghadapi krisis global. Lebih lanjut ia memaparkan bahwa Indonesia memiliki daya tarik tersendiri dalam hal investasi. Baik itu dari sisi sumber daya manusianya, dan juga sumber daya alamnya.
"Itu semua sangat mendukung ketahanan ekonomi kita, mungkin para investor-investor masih membuka diri untuk masuk ke Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, menjelaskan ancaman resesi ini akan mempengaruhi investasi di sektor keuangan khususnya pasar surat utang pemerintah. Pasalnya, porsi kepemilikan asing di SBN sudah turun dari 38,6% di akhir 2019 menjadi 14,3% per akhir September 2022.
"Investor asing mulai terpengaruh isu resesi sehingga mengurangi pembelian surat utang di negara berkembang," jelasnya kepada MPI.
Ia melihat, realisasi investasi langsung sejauh ini masih didominasi oleh pertambangan dan pengolahan hasil tambang. Itu pun bisa berbalik arah apabila terjadi penurunan harga komoditas karena permintaan negara industri melemah akibat resesi ekonomi.
"Kalau Amerika Serikat, zona Eropa dan China mengurangi pembelian bahan baku, harga komoditas ekspor turun dan ekspansi investasi FDI di Indonesia juga melambat. Bank sebagai penyalur kredit investasi saat ini mulai price in faktor resesi terhadap prospek kredit tahun depan," pungkas Bhima.
FRI