sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Harga Batu Bara Rebound Hampir 4 Persen di Tengah Ketidakpastian Permintaan

Market news editor Maulina Ulfa - Riset
23/02/2024 12:04 WIB
Kontrak berjangka (futures) batu bara Newcastle menguat 3,83 persen di level USD119,4 per ton pada penutupan perdagangan Kamis (22/2/2024).
Harga Batu Bara Rebound Hampir 4 Persen di Tengah Ketidakpastian Permintaan. (Foto: Freepik)
Harga Batu Bara Rebound Hampir 4 Persen di Tengah Ketidakpastian Permintaan. (Foto: Freepik)

IDXChannel – Kontrak berjangka (futures) batu bara Newcastle menguat 3,83 persen di level USD119,4 per ton pada penutupan perdagangan Kamis (22/2/2024).

Meski demikian, secara bulanan harga batu bara masih tertekan 6,21 persen dan secara tahunan masih merana, yakni anjlok 43,17 persen.

Melansir Trading Economics, harga batu bara sempat turun menjadi USD115 per ton beberapa waktu lalu dan di level terendah sejak Mei 2021 karena penurunan permintaan. (Lihat grafik di bawah ini.)

Impor batu bara termal melalui laut di Asia turun menjadi 77,65 juta metrik ton di bulan Januari, turun 5 persen dari rekor tertinggi di bulan Desember.

Meskipun impor China turun dari puncaknya pada bulan Desember, impor tersebut tetap 34 persen lebih tinggi dibandingkan bulan Januari 2023.

Peningkatan ini didorong oleh permintaan pembangkit listrik tenaga panas di tengah rendahnya produksi pembangkit listrik tenaga air dan keunggulan harga dibandingkan batu bara dalam negeri.

India juga mengalami penurunan impor selama tiga bulan berturut-turut, namun mengalami peningkatan sebesar 27,2 persen dibandingkan Januari 2023.

Sebaliknya, Jepang dan Korea Selatan menunjukkan permintaan yang kuat terhadap batu bara termal.

Permintaan Makin Tak Pasti

Diketahui China juga terus menambah kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara guna mencegah krisis energi.

Menurut laporan dari Pengawas Energi Global (GEM) dan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), Beijing menyetujui tambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 114 gigawatt (GW) sepanjang 2023, naik 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dilansir dari Reuters pada Kamis (22/2), angkanya mencapai 218 GW dalam dua tahun ke belakang, setara dengan total kebutuhan listrik Brasil.

Awalnya, China berkomitmen untuk membatasi pembangkit listrik tenaga batu bara dan mempromosikan alternatif ramah lingkungan seperti energi angin dan surya.

Namun, krisis listrik yang terjadi pada 2021 membuatnya kembali meningkatkan penggunaan batu bara yang dianggap lebih dapat diandalkan dibandingkan energi terbarukan.

China berencana untuk mulai mengurangi konsumsi batu bara pada periode 2025-2030. Di sisi lain, para pengembang membangun sebanyak mungkin pembangkit baru sebelum 2025.

“Kontradiksi ini harus diselesaikan agar China dapat merealisasikan pengurangan emisi yang diperlukan untuk mencapai netralitas karbon," kata Lauri Myllyvirta, kepala analis CREA.

Berkat amblesnya harga batu bara ini, salah satu emiten emas hitam Tanah Air, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) melaporkan penurunan laba bersih sebesar 58,3 persen sepanjang 2023.

Per Desember 2023 tercatat laba ITMG sebesar USD500,33 juta atau setara Rp7,79 triliun. Jika dibandingkan dengan 2022, perseroan membukukan laba sebesar USD1,2 miliar atau setara Rp18,75 triliun.

Secara keseluruhan, ITMG membukukan pendapatan sebesar USD2,37 miliar, turun 35 persen dibanding 2022 yang sebesar USD3,63 miliar.

Dengan beban pokok penjualan hanya turun 6,32 persen menjadi USD1,63 miliar, dari sebelumnya USD1,74 miliar pada 2022, penurunan harga membuat tekanan perusahaan semakin besar.

Tak hanya di Indonesia, harga batu bara kokas di Australia juga terus menurun sejak awal tahun. Secara khusus, menurut S&P Global, selama 1-8 Februari 2024, harga bahan baku turun sebesar 2,3 persen dibandingkan minggu sebelumnya – menjadi USD315,5/t FOB, dan sebesar 5,2 persen sejak awal tahun.

Pada akhir tahun 2023 dan awal Januari 2024, harga batu bara kokas di Australia naik karena pasar melihat peningkatan permintaan bahan baku Australia akibat permasalahan di Laut Merah yang menghambat pasokan bahan baku dari Amerika Serikat.

Pada saat yang sama, perusahaan pertambangan Australia merasa tidak yakin mengenai permintaan volume pasokan pada Januari dan Februari.

Berdasarkan laporan Badan Energi Internasional (IEA), permintaan batu bara global pada tahun 2023 menunjukkan peningkatan sebesar 1,4 persen pada tahun 2023, melampaui 8,5 miliar ton untuk pertama kalinya.

Peningkatan global ini menutupi perbedaan yang mencolok antar wilayah. Konsumsi diperkirakan akan mengalami penurunan tajam di sebagian besar negara maju pada tahun 2023, termasuk rekor penurunan konsumsi di Uni Eropa dan Amerika Serikat yang masing-masing sebesar sekitar 20 persen.

Sementara itu, permintaan di negara-negara berkembang dan berkembang masih sangat tinggi, meningkat sebesar 8 persen di India dan 5 persen di China pada 2023 karena meningkatnya permintaan listrik dan lemahnya keluaran pembangkit listrik tenaga air.

Namun, laporan tersebut memperkirakan permintaan batubara global akan turun sebesar 2,3 persen pada 2026 dibandingkan dengan tingkat pada tahun 2023, bahkan tanpa adanya pemerintah yang mengumumkan dan menerapkan kebijakan energi bersih dan iklim yang lebih kuat.

Penurunan ini diperkirakan didorong oleh perluasan besar-besaran kapasitas energi terbarukan yang mulai beroperasi dalam tiga tahun hingga tahun 2026. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement