IDXChannel - Minyak mentah berjangka (futures) anjlok dalam perdagangan Selasa (3/6/2024). Minyak West Texas Intermediate (WTI) dan Brent ditutup masing-masing terjun 3,35 persen di level USD74 per barel dan 4,23 persen di level USD78,17 per barel.
Pagi ini, harga minyak WTI masih dibuka melemah 0,16 persen di level USD73,95 per barel dan Brent turun 0,24 persen di level USD77,98 per barel hingga pukul 08.53 WIB.
Dalam sepekan, harga minyak WTI dan Brent turun 7,75 persen dan 7,34 persen.
Minyak mentah anjlok mencapai titik terendah dalam empat bulan setelah organisasi eksportir minyak dunia, OPEC+ mengumumkan rencana bertahap untuk mengurangi sebagian produksi minyaknya.
Kelompok kartel minyak ini bermaksud untuk menghentikan pengurangan produksi sukarela sebesar 2,2 juta barel per hari pada tahun depan, dimulai pada Oktober.
Pada Desember, lebih dari 500.000 barel minyak per hari diperkirakan akan masuk kembali ke pasar, dengan total 1,8 juta barel per hari yang akan kembali pada Juni 2025.
Sementara itu, OPEC+ akan mempertahankan pengurangan produksi tambahan sebesar 3,6 juta barel per hari hingga akhir tahun 2025.
Bulan lalu, minyak harga turun sekitar 6 persen karena ketidakpastian sisi permintaan membebani pasar.
Harga minyak baru-baru ini juga tertekan oleh kekhawatiran bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) akan memperpanjang era suku bunga tinggi, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan minyak.
Pengurangan ini dipandang sebagai sinyal bearish bagi pasar, terutama jika permintaan tidak terwujud sesuai perkiraan OPEC+ untuk tahun mendatang.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa kartel minyak tersebut mempunyai ruang terbatas untuk terus mendukung harga minyak.
“Pasar memperkirakan mereka akan tetap bertahan hingga akhir tahun. Hal ini menyebabkan minyak mentah Brent anjlok karena investor mempertimbangkan peningkatan pasokan di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu,” tulis analis di ANZ dalam sebuah catatan.
Data PMI yang lemah di China juga memicu kekhawatiran permintaan. Pasar minyak mentah juga dihantui oleh lemahnya data indeks manajer pembelian dari AS, yang menunjukkan aktivitas manufaktur di negara tersebut mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut pada Mei 2024.
Angka tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa inflasi dan suku bunga yang tinggi akan mengurangi aktivitas ekonomi di negara konsumen bahan bakar terbesar dunia tersebut. Kondisi ini dapat menyebabkan melemahnya permintaan.
Fokus minggu ini adalah pada data pasar tenaga kerja utama AS, yang diperkirakan akan menjadi faktor penentu dalam prospek suku bunga The Fed. Pasar terlihat bersiap untuk penurunan suku bunga pada September mendatang.
Hasil PMI yang beragam dari importir minyak utama dunia China juga membebani sentimen harga minyak, setelah data resmi yang dirilis minggu lalu menunjukkan kontraksi tak terduga di sektor manufaktur negara tersebut.
Selain kekhawatiran terhadap OPEC+ dan lemahnya permintaan, para trader minyak juga terlihat memperkirakan premi risiko minyak mentah setelah AS berupaya menengahi gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Kondisi ini dapat menghasilkan kondisi geopolitik yang lebih stabil di Timur Tengah. (ADF)