IDXChannel - IHSG sesi I ditutup melemah sebesar 0,04 persen menjadi 7.080,15 pada perdagangan Rabu (8/1/2025).
Menurut riset Panin Sekuritas, IHSG masih ditopang oleh sentimen domestik, khususnya dari sejumlah stimulus fiskal di awal tahun ini.
Pertama adalah penerapan PPN 12 persen yang dibatasi untuk barang mewah. Kedua, diskon tarif listrik pada Januari-Februari 2025, dan ketiga, dimulainya pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
"Berbagai stimulus fiskal tersebut diharapkan mendorong konsumsi domestik pada awal kuartal I-2025, ketika kinerja net ekspor umumnya mengalami perlambatan. Kondisi ini diharapkan dapat menyelamatkan laju pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen yoy pada kuartal I tahun ini," tulis riset tersebut, siang ini.
Selain itu, pergerakan pasar Asia masih dipengaruhi oleh tensi politik, setelah Indonesia resmi menjadi anggota BRICS. Saat ini, BRICS berkontribusi 45 persen terhadap populasi dunia dan 35 persen dari perekonomian dunia.
BRICS awalnya hanya beranggotakan lima negara, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Berdasarkan KTT terakhir ada beberapa negara baru yang menjadi anggota, yaitu Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Indonesia.
Untuk indeks sektoral ditutup mixed cenderung melemah pada sesi I. Sektor energi menguat 0,97 persen, namun sektor basic materials melemah paling dalam 1,92 persen.
"Pelemahan sektor basic materials disebabkan karena melemahnya prospek permintaan komoditas tambang, seperti nikel dan tembaga karena permintaan yang lemah dari konsumen terbesar, seperti China," ujarnya.
"Di sisi lain, investor pesimistis bahwa stimulus yang digelontorkan China akan mampu meningkatkan konsumsi," menurut catatan riset tersebut.
Sementara itu, Rupiah siang ini melemah 0,41 persen ke level Rp16.209 per USD. Nilai transaksi perdagangan sepanjang sesi I mencapai Rp4,85 triliun, naik dibanding transaksi perdagangan sesi I pada sebelumnya. Perdagangan saham tertinggi siang ini didominasi saham perbankan besar dan komoditas.
Di sisi lain, yield obligasi 5 tahun dan 10 tahun mengalami kenaikan, seiring dengan kekhawatiran utang yang tinggi dan ekspektasi lebih sedikit dari pemangkasan suku bunga.
(Fiki Ariyanti)