"Itu jika kita bicara dari sisi sentimen market. Tapi jika kita lihat dampak jangka panjang, kebijakan ini akan melemahkan nilai ekspor yang tentunya akan memberikan dampak kurang baik untuk neraca dagang," tuturnya.
Michael menambahkan, meskipun porsi ekspor Indonesia ke AS tergolong kecil dibanding China, risiko tetap ada.
Ia juga mengingatkan bahwa pergerakan IHSG masih rawan terkoreksi ke level gap yang belum tertutup. "Gap IHSG berada di angka 6.538," ujarnya.
Di sisi lain, Michael menyoroti potensi tekanan baru dari rencana tarif tambahan AS yang menyasar negara-negara aliansi BRICS.
Menurutnya, langkah Indonesia yang memberi sinyal untuk bergabung dengan BRICS di awal pemerintahan Presiden Prabowo bisa menjadi tantangan tersendiri. Michael menilai, posisi Indonesia di BRICS tak akan semudah China atau India.