IDXChannel – Saham emiten batu bara Grup Bakrie PT Bumi Resources Tbk (BUMI) terus menjadi buruan pelaku pasar RI. Kinerja fundamental yang positif di tengah melambungnya harga batu bara serta aksi korporasi private placement untuk melunasi utang, menjadi katalis utama saham BUMI akhir-akhir ini.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), harga saham BUMI naik 9,64% dibandingkan hari sebelumnya, ditutup di level Rp216/saham, level yang terakhir kali disentuh pada Oktober 2018.
Dalam sepekan, saham BUMI sudah melesat 35,00% dan dalam sebulan terbang 91,15%. Sementara, sejak awal tahun (ytd), saham ini meroket 222,39%.
Praktis, BUMI menjadi salah satu saham dalam 5 besar top gainers alias saham paling banyak diborong (hot stock) sepanjang tahun ini.
Asal tahu saja, sebelum ramai diburu, saham BUMI sempat terbenam di level gocap (Rp50-an/saham) dalam periode April sampai awal Juni 2022.
Di tengah kenaikan harga saham tersebut, Laba bersih BUMI melonjak signifikan sebesar 8768,18% secara tahunan (yoy) menjadi USD167,67 juta atau setara dengan Rp2,49 triliun (asumsi kurs Rp14.850/USD) pada semester pertama tahun ini.
Padahal, pada periode yang sama 2021, laba bersih BUMI hanya sebesar USD1,89 juta.
Kenaikan laba bersih tersebut seiring dengan tumbuhnya pendapatan bersih perusahaan sebesar 129,62% yoy menjadi USD968,69 juta (Rp14,39 triliun) pada paruh pertama 2022.
Analis Pantau BUMI Lagi
Setelah dalam beberapa tahun terakhir absen dari riset analis, BUMI kembali mendapatkan sorotan dalam riset Samuel Sekuritas Indonesia bertajuk ‘Shareholders Value Return’ yang diterbitkan pada Senin (5/9/2022).
Tajuk tersebut merujuk ke rencana penambahan modal private placement BUMI senilai Rp24 triliun dalam rangka membayar utang pasca-PKPU BUMI pada 2017 silam.
Dalam risetnya, analis Samuel Sekuritas Jonathan Guyadi dan Prasetya Gunadi memberi rekomendasi beli saham BUMI dengan harga target (target price/TP) di angka Rp305/saham atau lebih tinggi 41,20% dibandingkan harga saham BUMI per penutupan Selasa (6/9).
TP tersebut berdasarkan perhitungan discounted cash flow (DCF) dengan asumsi weighted average cost of capital (WACC) sebesar 8,5%.
Hal tersebut, kata kedua analis Samuel Sekuritas, mengimplikasikan cadangan batu bara USD1,15/metrik ton (MT). “[Ini] jauh lebih rendah dari perusahaan peers terdekat, ADRO (USD5,63/mt) dan ITMG (USD6,73/mt,” kata analis Samuel.
Samuel memproyeksikan BUMI akan menghasilkan EBITDA tahunan sebesar USD 492juta dalam proyeksi tahun penuh 2022 dan USD 456 juta di proyeksi tahun penuh 2023. Hal tersebut, kata Samuel Sekuritas, dengan asumsi harga batu bara tetap di atas USD 400/ton untuk sisa tahun ini.
“Juga, masuknya investor strategis baru (melalui private placement) akan membantu BUMI meningkatkan GCG [Good Corporate Governance]-nya,” imbuh analis Samuel Sekuritas.
Namun, dalam riset tersebut, analis Samuel mengatakan, pihaknya tidak memasukkan aksi korporasi private placement dalam perhitungan valuasi saham BUMI. Ini karena masih menunggu restu pemegang saham dalam Rapat Umu Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 11 Oktober mendatang.
“Namun demikian, menurut perhitungan kami, NPR [private placement] akan meningkatkan nilai perusahaan menjadi USD 3,7 miliar (USD 1,49/mt cadangan batubara) dari USD 2,9 miliar (USD 1,15/mt cadangan batubara),” jelas analis Samuel.
Adapun, menurut catatan analis tersebut, risiko utama dari rekomendasi riset di atas adalah soal harga batu bara yang lebih rendah dari perkiraan dan penurunan produksi.
Asal tahu saja, mengutip penjelasan analis Samuel, BUMI merupakan pemilik cadangan batu bara terbesar (2,5 miliar ton) dan sumber batu bara (9,8 miliar ton) di Indonesia, atawa berkontribusi terhadap 13% (79 juta ton) dari produksi pada 2021 nasional.
Tanggapan Direksi
Menanggapi rekomendasi analis Samuel di muka, Direktur & Sekretaris BUMI Dileep Srivastava menjelaskan, riset tersebut merupakan pandangan pihak ketiga yang independen.
“Tapi, ya, BUMI sangat undervalued [valuasi murah]. [Bumi Resources] juga mencatatkan laba dan [hal tersebut] akan semakin meningkat. Seiring utang sepenuhnya diselesaikan, semoga struktur modal kuartal selanjutnya akan seimbang,” jelas Dileep, saat dihubungi IDX Channel, Selasa (6/9).
Biaya bunga, lanjut Dileep, turun hingga ke level ‘yang dapat diabaikan (dari USD200 juta pada tahun penuh 2021)’.
“Jadi, prospek tahun penuh 2023 dengan volume yang lebih tinggi dan harga batu bara yang melambung bisa dianggap sangat menarik,” beber Dileep.
Soal proyek BUMI ke depan, Dileep Bilang, proyek yang sudah diumumkan adalah soal hilirisasi batu bara menjadi metanol di anak usaha BUMI, KPC, untuk saat ini dan tidak menutup kemungkinan juga di anak usaha BUMI lainnya, Arutmin.
“Dan kami sedang memeriksa kelayakan proyek lainnya di ranah energi biru & hijau, hybrids, dan energi terbarukan,” kata Dileep.