Sekadar informasi, selama siklus pengetatan kebijakan The Fed pada 2018, mata uang Rupiah jatuh ke posisi terendah selama beberapa dekade. Selama taper tantrum tahun 2013, Rupiah anjlok 20%.
Kenaikan harga komoditas telah membuat surplus transaksi berjalan melebar, sehingga memberi perlindungan terhadap arus keluar modal. Kepemilikan asing atas obligasi Indonesia yang pernah menguasai setengah pasar satu dekade lalu pun lebih rendah sekira 14%.
Namun keuntungan hasil Indonesia telah menguap karena tingkat imbal hasil di tempat lain naik lebih cepat. Arus keluar dari pasar oblibasi, di mana imbal hasil setinggi 7% mencapai USD11 miliar dalam tiga kuartal pertama tahun ini, hampir dua kali lipat dari USD5,7 miliar di sepanjang 2021.
"Saya menduga ini merupakan reaksi yang tertunda," kata Kepala Ekonomi dan Strategi Mizuho Bank, Wisnu Varathan mengenai pelemahan rupiah baru-baru ini.
Tanpa tanda-tanda dolar AS yang melonjak akan mencapai puncaknya dalam waktu dekat, Varathan menyoroti risiko kewajiban utang luar negeri Indonesia dan penurunan cadev dapat menjadi kekhawatiran pada saat yang sama pengetatan kebijakan domestik memukul pertumbuhan.