IDXChannel - Setelah sebelumnya Alphabet, Microsoft hingga Meta melaporkan penurunan keuangan perusahaan, kini giliran big tech Amazon yang harus menelan pil pahit yang sama.
Saham perusahaan teknologi besutan Jeff Bezos ini anjlok 13% pada perdagangan yang diperpanjang pada hari Kamis (27/10). Kondisi ini terjadi setelah perusahaan mengeluarkan proyeksi pendapatan kuartal keempat (Q4) yang mengecewakan dan melesetnya pendapatan Q3 dari perkiraan pasar.
Laporan keuangan Amazon cukup mengecewakan untuk kali kedua dan memicu aksi jual saham hingga persentase dua digit.
Pendapatan tumbuh 15% pada kuartal ketiga, menandai kembalinya ekspansi penjualan dua digit, tetapi masih jauh dari proyeksi Wall Street.
Pendapatan Amazon sebesar USD127,10 miliar di bawah perkiraan sebesar USD127,46 miliar berdasarkan estimasi Refinitiv.
Sementara sumber pendapatan andalan yakni Amazon Web Services (AWS) hanya menyentuh angka USD20,5 miliar dibandingkan perkiraan USD21,1 miliar berdasarkan estimasi StreetAccount.
Amazon Web Services (AWS) merupakan salah satu platform computing cloud unggulan Amazon sejak tahun 2002. AWS menawarkan layanan komputasi, penyimpanan, basis data, jaringan, hingga aplikasi.
Adapun pendapatan di segmen advertising mencapai USD9,55 miliar, sedikit di atas proyeksi sebesar USD9,48 miliar.
Untuk Q4, Amazon mengatakan mereka mengharapkan membukukan pendapatan antara USD140 miliar hingga USD148 miliar. Dengan ekspektasi pertumbuhan year on year (YoY) sebesar 2% hingga 8%.
Menurut analis Refinitiv memperkirakan penjualan akan mencapai USD155,15 miliar di kuartal yang akan datang.
Masih Ditopang AWS
Big tech yang berkantor pusat di Seattle tersebut membukukan pendapatan bersih atau net sales sebesar USD127,1 miliar atau meningkat 15% pada kuartal ketiga, dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar USD110,8 miliar.
Pendapatan ini ditopang oleh peningkatan pada segmen pasar Amerika Utara sebesar 20% yoy menjadi USD78,8 miliar. Sementara di segmen AWS meningkat 27% yoy menjadi USD20,5 miliar.
Selain AWS, segmen online store menyumbang pendapatan bersih USD53,4 miliar, atau meningkat 7 % yoy, store fisik sebesar USD4,6 atau tumbuh 10 % yoy, penjualan pihak ketiga sebesar USD28,7 miliar atau naik 18 % yoy.
Di segmen subscription services yang ditopang oleh Prime juga menyumbang net sales mencapai USD8,9 miliar atau tumbuh 9% yoy dan jasa periklanan mencapai USD9,5 miliar atau tumbuh 25 % yoy.
Adapun pendapatan bersih segmen internasional turun 5% yoy menjadi USD27,7 miliar dibanding tahun sebelumnya yang mencapai USD29,1 miliar.
Laba operasional Amazon mencatatkan penurunan menjadi USD2,5 miliar di kuartal ketiga, dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai USD4,9 miliar.
AWS menopang laba operasional Amazon kali ini. Ini karena, segmen pasar Amerika Utara dan Internasional mengalami rugi operasional.
Segmen Amerika Utara membukukan rugi operasional mencapai USD412 juta, sedangkan segmen internasional menanggung rugi operasional sebesar USD2,5 miliar.
Dus, pendapatan operasional segmen AWS mencatatkan yang terbesar, mencapai USD5,4 miliar dibanding tahun sebelumya sebesar USD4,8 miliar.
AWS menyumbang 16% dari total penjualan perusahaan dan menjadi penopang satu-satunya yang menghasilkan laba operasi. Namun, AWS mencatat pertumbuhan pendapatan paling lambat sejak 2014.
Sumber: Laporan Keuangan Amazon
Laba operasional yang jeblok pada gilirannya menyumbang penurunan laba bersih menjadi USD2,9 miliar pada kuartal ketiga. Lebih kecil dibandingkan dengan USD3,2 miliar tahun lalu.
Selain lingkungan ekonomi yang bergejolak, nilai investasi Amazon di Rivian Automotive, produsen truk listrik berkontribusi terhadap fluktuasi laba Amazon tahun ini.
Valuasinya meningkat sebesar USD1,1 miliar, berkontribusi pada keuntungan Amazon pada kuartal terakhir.
Setelah dua tahun berekspansi dengan cepat, Amazon disebut akan mulai menarik rem. Sang CEO, Andy Jassy, mulai bergerak untuk memotong biaya untuk efisiensi setelah perusahaan melakukan ekspansi berlebihan di sektor e-commerce yang dipicu kondisi pandemi Covid-19.
Amazon disebut akan mengurangi rencana untuk membuka gudang baru dan meningkatkan efisiensi operasi, serta menunda perekrutan untuk divisi ritelnya.
Raksasa e-commerce AS ini juga memperingatkan bahwa pertumbuhan akan lambat dan mungkin jatuh ke level terendah sejak 2001.
Ritel Lesu, Imbas Kondisi Ekonomi AS?
Seperti Big tech lainnya, Amazon mengalami tahun yang sulit sejauh menghadapi hambatan ekonomi makro, inflasi yang melonjak, dan kenaikan suku bunga.
Tantangan tersebut sejalan dengan kondisi perlambatan bisnis ritel inti Amazon, karena konsumen mulai kembali berbelanja di toko.
Sebelumnya, Amazon mengukuhkan diri menjadi raksasa e-commerce AS setelah mencatatkan peningkatan penjualan 44% menjadi USD108,5 miliar dalam tiga bulan pertama tahun 2021. Hal ini karena efek ‘ledakan’ dampak pandemi Covid-19.
Raksasa belanja online dan layanan web itu menghasilkan keuntungan USD8,1 miliar untuk kuartal pertama tahun tersebut atau setara USD2,7 miliar per bulan.
Amazon juga disebut cukup berkontribusi terhadap penyediaan lapangan kerja di AS dan membantu makro ekonomi negeri Paman Sam perlahan keluar dari resesi.
Mengutip website Amazon, selama dekade terakhir, tidak ada perusahaan lain yang berbasis di AS yang menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan selain Amazon. Kontribusi ini secara langsung juga berdampak pada ekonomi AS.
Amazon menyediakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 2,7 juta pekerjaan di AS. Dengan rincian lebih dari 800 ribu karyawan di 40 negara bagian dan 250 daerah.
Menyitir Investopedia, pendapatan Amazon dari pembelian web konsumen AS mencapai 30,7% dari penjualan ritel online AS pada kuartal pertama tahun 2021.
Pada tahun 2020, penjualan e-commerce melonjak hingga 21,3% dari penjualan ritel AS. Kondisi ini berarti Amazon menyumbang sekitar 6,5% dari semua belanja ritel di negeri Paman Sam.
Peningkatan besar ini akibat melonjaknya belanja online sebagai akibat dari kebijakan lockdown saat pandemi Covid-19.
Secara analisis makro, belanja konsumen lebih banyak adalah pertanda baik karena berkontribusi pada PDB. Meskipun pengeluaran konsumen di Amazon tidak cukup signifikan untuk meningkatkan skala PDB.
Di tengah lesunya bisnis e-commerce seperti Amazon, secara mengejutkan ekonomi AS tumbuh 2,6% secara tahunan pada kuartal ketiga tahun 2022 yang diumumkan Kamis (27/10). Kondisi ini bahkan di atas perkiraan sebesar 2,4%. Ekonomi AS dapat dikatakan rebound dari kontraksi pada paruh pertama tahun ini.
Kontribusi positif terbesar datang dari perdagangan dam impor turun sebesar 6,9%. Sementara ekspor naik 14,4% disumbang oleh produk minyak bumi, barang modal non-otomotif, dan jasa keuangan.
Adapun inflasi harga konsumen di AS turun untuk bulan ketiga berturut-turut menjadi 8,2 persen yoy pada September 2022. Sebelumnya, inflasi AS sempat menyentuh angka tertinggi 9,1% pada bulan Juni 2022.
Inflasi ini disinyalir berkontribusi pada perlambatan belanja online masyarakat AS.
Menurut data Statista pada Juni 2022, sebagian besar pembeli e-commerce AS atau sekitar 60% menyatakan kenaikan harga harga pangan memengaruhi perilaku belanja online.
Bisa saja kondisi ini berkontribusi pada anjloknya pendapatan Amazon sebagai salah satu giant online retail di negeri Paman Sam tersebut. Namun, pertumbuhan AWS tentu membuat Jeff Bezos masih bisa tersenyum kali ini. (ADF)