Selain karena kebutuhan likuiditas akhir tahun, terang Patrick, tekanan saham GOTO juga terjadi akibat sentimen makroekonomi dan pasar modal, terutama sejak lonjakan inflasi menghadirkan tren laju suku bunga, yang pada akhirnya membebani modal perusahaan sektor teknologi.
"Tugas kami sebagai tim manajemen adalah memastikan untuk terus mengejar pertumbuhan yang berkualitas dan bekerja keras dalam memastikan operasional yang efisien untuk mempercepat profitabilitas," pungkasnya.
Secara historis, koreksi Jumat (9/12) membuat GOTO tertekan 72,48% dari harga penawaran umum perdana (IPO) di Rp338. Apabila dihitung dari level tertinggi yang pernah dicapai di Rp442, maka GOTO telah babak belur 78,95%.
Sedangkan jika dihitung dari harga penutupan di periode pembukaan lock-up pada 30 November, maka GOTO anjlok 38,41%.
(SLF)