IDXChannel – PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) sempat mengejutkan pasar dengan mengumumkan rencana spin-off (pemisahan) unit bisnis batu bara termal mereka, PT Adaro Andalan Indonesia (AAI), pada 12 September 2024.
Langkah tersebut membuat saham ADRO melonjak 13 persen sesaat setelah pengumuman, sebelum ditutup naik 9,38 persen di akhir perdagangan 12 September lalu.
Per penutupan sesi I perdagangan Selasa (24/9/2024), saham ADRO diperdagangkan di harga Rp3.700 per saham, menguat 6,02 persen dalam sebulan dan melonjak 55,46 persen sejak awal 2024 (YtD).
Informasi saja, ADRO menguasai 99,99 persen saham AAI yang menaungi beberapa entitas pertambangan batu bara termal, seperti PT Adaro Indonesia, PT Paramitha Cipta Sarana, PT Semesta Centramas, PT Laskar Semesta Alam, dan PT Mustika Indah Permai.
Melalui AAI, ADRO juga memiliki saham di dua perusahaan tambang batu bara yang masih dalam pengembangan, yaitu PT Pari Coal dan PT Ratah Coal. Produksi batu bara dari entitas-entitas ini didominasi oleh batu bara berkalori menengah dengan kadar polutan rendah.
Rencana spin-off ini diharapkan dapat mempercepat pengembangan bisnis hijau ADRO, termasuk mempermudah akses pembiayaan dan menurunkan biaya pendanaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan.
ADRO berencana melepas 99,99 persen saham AAI dengan rentang harga USD2,45 miliar hingga USD2,63 miliar. Dengan langkah ini, ADRO ingin menciptakan portofolio bisnis yang lebih seimbang dan melindungi perusahaan dari fluktuasi siklus bisnis batu bara.
ADRO menargetkan 50 persen pendapatan dari bisnis non-batu bara termal pada 2030. Rencana ini sejalan dengan strategi pemerintah Indonesia yang mendorong hilirisasi dan pengembangan industri berbasis ekosistem hijau.
ADRO pun akan mengajukan persetujuan spin-off ini dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 18 Oktober 2024.
Perlu Strategi Baru
Langkah ADRO untuk mengurangi eksposur terhadap batu bara dan beralih ke investasi hijau menunjukkan tren yang lebih luas di kalangan perusahaan tambang Indonesia.
Mengutip catatan Algo Research, Senin (23/9/2024), meskipun sektor batu bara masih menjadi kontributor utama laba bersih, banyak perusahaan mulai melakukan diversifikasi ke sektor logam seperti nikel dan tembaga.
Ini merupakan upaya untuk mengatasi penurunan valuasi saham batu bara akibat arus keluar modal asing yang dipengaruhi oleh kekhawatiran ESG (Environmental, Social, and Governance).
Harga batu bara sendiri, meskipun telah turun dari puncaknya di atas USD400 per ton pada 2022, masih berada di kisaran USD130-USD150 per ton.
Ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata USD80 per ton pada 2017-2019.
Rata-rata ekspor batu bara mencapai USD2,5 miliar per bulan dalam setahun belakangan, menyumbang 12-15 persen dari total ekspor Indonesia.
Artinya, mengikuti Algo Research, sektor ini tetap menjadi salah satu penggerak utama pertumbuhan ekspor Indonesia, berada di posisi kedua setelah produk logam dasar (hilirisasi).
Dengan pasokan baru yang terbatas dan permintaan yang stabil dari negara berkembang seperti India dan ASEAN, kata Algo Research, harga batu bara saat ini diperkirakan akan menjadi normal baru (the new normal).
Meningkatnya Diversifikasi
Menurut perhitungan Algo Research, laba perusahaan batu bara Indonesia tercatat lebih baik pada 2022-2024 dibandingkan periode 2017-2019.
Berdasarkan 9 perusahaan batu bara (penambang dan kontraktor) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), total laba mereka mencapai Rp108 triliun pada 2022 dan Rp64 triliun pada 2023.
Untuk 2024, diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 10 persen hingga 15 persen dibandingkan tahun lalu.
Namun, banyak perusahaan kini memilih untuk memperluas portofolio mereka ke sektor lain.
Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bijih nikel sejak 2019 telah berhasil menarik investasi besar, terutama dari China, untuk proyek hilirisasi. Ekspor produk hilirisasi bahkan melampaui ekspor batu bara pada 2023.
Menurut amatan Algo Research, perusahaan seperti ADRO, UNTR, INDY, dan TOBA pun telah mengarahkan investasi mereka ke sektor-sektor yang mendukung transisi energi, seperti kendaraan listrik dan proyek hilirisasi logam.
Valuasi Murah
Seiring dengan itu, kata Algo, meskipun profitabilitas dan dividen yang lebih tinggi telah dibagikan kepada investor, saham batu bara diperdagangkan dengan valuasi yang jauh lebih rendah dibandingkan sebelumnya.
Menggunakan rasio harga saham-terhadap-laba (PER) sebagai metode valuasi, 6 dari 9 saham batu bara yang melantai di bursa (67 persen dari total) memiliki rasio multiple yang lebih rendah pada 2023 dibandingkan dengan 2017.
Penurunan valuasi ini bervariasi, dari -12 persen hingga yang terendah -78 persen, dengan derating (penurunan) valuasi paling signifikan berasal dari ADRO (dari 9,2x menjadi 2,9x) dan UNTR (dari 17,8x menjadi 4x).
“Pengecualian seperti BUMI, TOBA, dan INDY disebabkan oleh pendapatan/beban non-operasional yang bersifat satu kali (one-offs), tetapi harga saham mereka juga mengalami penurunan yang serupa dibandingkan sebelumnya,” tulis Algo Research.
Potensi Divestasi Lainnya
Algo Research pun memberikan daftar sejumlah emiten batu bara lainnya yang berpotensi melakukan aksi korporasi untuk diversifikasi bisnis.
Pertama, UNTR. Jika tekanan terhadap praktik ESG semakin kuat, Grup Astra (ASII) mungkin mempertimbangkan divestasi UNTR, meskipun kontribusinya signifikan terhadap laba.
Kedua, INDY. Perusahaan sudah mulai menjual aset batu bara dan berekspansi ke tambang logam mulia. Menurut Algo, dengan harga yang tepat, divestasi lebih lanjut mungkin dilakukan.
Ketiga, TOBA. Perusahaan ini fokus pada energi terbarukan dan kendaraan listrik. Untuk mendapatkan pendanaan lebih murah, divestasi batu bara mungkin menjadi pilihan.
Singkatnya, langkah ADRO ini dapat menjadi pendorong bagi emiten-emiten lain untuk mengevaluasi strategi bisnis mereka. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.