“Begitu laporan peningkatan produksi OPEC keluar, harga langsung anjlok,” ujar analis pasar senior dari Price Futures Group, Phil Flynn, menggambarkan tekanan jual yang muncul di tengah sesi Jumat.
Dari sisi permintaan, China—importir minyak terbesar dunia—mencatatkan rekor impor minyak dari Iran sebesar 1,8 juta barel per hari pada periode 1–20 Juni, menurut data Vortexa. Pembelian besar-besaran ini bahkan terjadi sebelum konflik Israel-Iran, menandakan kekuatan permintaan yang mendasari meski harga melemah.
Beberapa sinyal bullish dari sisi inventori juga muncul pekan ini. Data pemerintah AS menunjukkan penurunan stok minyak mentah dan bahan bakar, seiring meningkatnya aktivitas penyulingan dan konsumsi. Di kawasan Amsterdam-Rotterdam-Antwerp, stok gasoil yang disimpan secara independen turun ke level terendah dalam lebih dari setahun. Sementara itu, persediaan distilat menengah di Singapura juga menyusut, seiring kenaikan ekspor bersih.
“Kita mulai melihat premi permintaan pada harga minyak,” ujar Flynn, merujuk pada ekspektasi konsumsi yang lebih tinggi dalam beberapa bulan ke depan. Penurunan stok ini sempat menjadi penopang harga di awal sesi, sebelum berita dari OPEC+ mendominasi perhatian pasar.
Premi Risiko Geopolitik Menguap
Konflik Israel-Iran yang berlangsung selama 12 hari sejak 13 Juni sempat mendorong harga minyak Brent menembus USD80 akibat kekhawatiran gangguan pasokan. Namun, pengumuman gencatan senjata oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump langsung menghapus premi risiko tersebut, menunjukkan betapa sensitifnya pasar minyak terhadap dinamika geopolitik.