Menurut Mino, saat adalah rekor di mana neraca perdagangan kita itu selalu surplus dari awal tahun. Kalau pun turun, angkanya masih cukup besar dan ini akan masih sangat positif.
"Surplus ini tercatat di net ekspor-impor GDP kita. Kalau semakin gede net-nya atau surplus, maka akan positif untuk ekonomi kita," terangnya.
Optimisme penguatan IHSG pekan ini juga akan tertopang keputusan Bank Indonesia terkait suku bunga acuan. Mino menjelaskan, pasca kembali dinaikkannya suku bunga acuan di Amerika sebesar 75 bps menjadi 4% diprediksi akan membuat Bank Indonesia dalam pertemuan dua hari 16-17 November akan kembali menaikan suku bunga acuan.
"Menurut konsensus Bloomberg Bank Indonesia diprediksi akan menaikan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 5,25%," kata Mino.
Selanjutnya, pergerakan IHSG yang positif pada pekan ini juga akan tertopang perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.
Mino menjelaskan, data inflasi Oktober yang lebih rendah dari ekspektasi dan memberikan sinyal bahwa inflasi di AS sudah melewati masa puncaknya diprediksi akan membuat nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama lainnya kembali melemah.
Adapun pelemahan tersebut tidak terlepas dari ekspektasi bahwa The Fed akan lebih lunak dalam menaikan suku bunga acuan.
Sementara itu, sentimen penopang lainnya dari sisi eksternal yakni ekspektasi Bank Sentral Amerika yang akan menurunkan keagresifannya dalam menaikkan suku bunga acuan
"Pada pertemuan yang akan dilaksanakan oleh bank sentral Amerika pada pertengahan Desember nanti, The Fed diprediksikan hanya akan menaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 5,25% setelah dalam empat pertemuan sebelumnya menaikan suku bunga acuan sebesar 75 bps secara berturut-turut," jelas Mino.
Jika melihat tren Rupiah yang menguat, dolar AS yang melemah dan ada ekspektasi The Fed tidak agresif, kemungkinannya bisa jadi di bawah konsensus. Konsensusnya masih tinggi.