Meidy juga menyoroti kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk Sumber Daya Alam (SDA) yang mewajibkan perusahaan menyimpan pendapatan dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan. Plus, kebijakan Global Minimum Tax (GMT) yang naik menjadi 15 persen semakin menambah berat kinerja keuangan.
Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menaikkan royalti untuk enam komoditas tambang yang mencakup batu bara, perak, timah, tembaga, emas, dan nikel. Untuk nikel, bijih nikel yang sebelumnya diterapkan tarif tunggal 10 persen bakal dikenakan tarif progresif antara 14-19 persen sesuai harga acuan.
Sementara, nickel matte dan feronikel masing-masing aik dari tarif tunggal 2 persen menjadi tarif progresif mulai 4,5-6,5 persen dan 5-7 persen sesuai harga acuan. Sedangkan nikel pig iron naik dari 5 persen menjadi tarif progresif mulai 5-7 sesuai harga acuan.
Meidy menilai, saat ini harga nikel di pasar global juga belum pulih, bahkan cenderung mengalami penurunan sejak 2024. Kondisi ini membuat perusahaan sulit menaikkan pendapatan sementara beban usaha terus naik akibat kebijakan pemerintah.
"Kalau harga (nikel) memang dari tahun kemarin sampai tahun ini belum ada peningkatan yang cukup berarti, tentu kita harus berpikir bahwa ujungnya kita cari cuan atau margin untuk pengusaha dan negara," kata Meidy.