Di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia ke depan masih diliputi ketidakpastian terutama akibat meningkatnya risiko pelemahan permintaan ekspor dan pergeseran permintaan domestik. Sebab, terjadi eskalasi perang dagang akibat penerapan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada para mitra dagangnya termasuk Indonesia.
Tarif Trump tersebut dapat menyebabkan pelemahan permintaan dari mitra dagang utama Indonesia seperti China, AS, dan Uni Eropa sehingga menurunkan volume ekspor, khususnya di sektor manufaktur dan yang berbasis sumber daya alam. Selain itu, fluktuasi harga energi dan mineral global dapat memengaruhi nilai ekspor Indonesia.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan surplus perdagangan USD4,33 miliar pada Maret 2025 lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Pada Februari 2025, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar USD3,12 miliar.
Sementara itu, secara kumulatif, neraca perdagangan selama Januari hingga Maret 2025 mencapai USD10,92 miliar. Indonesia mencatatkan surplus 59 bulan beruntun sejak Mei 2020.
Berdasarkan analisis tersebut, Ibrahim memprediksi bahwa mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif pada perdagangan selanjutnya dan berpotensi ditutup melemah dalam rentang Rp16.840-Rp16.900 per dolar AS.
(Febrina Ratna Iskana)