IDXChannel - Tidak semua saham starup yang melakukan penawaran umum perdana / initial public offering (IPO) di bursa bisa moncer. Nasib ini seperti yang terjadi pada emiten PT Bukalapak.com Tbk (BUKA).
Tekanan jual yang masif seringkali terjadi menyusul lonjakan harga saham dalam beberapa hari setelah IPO. Kondisi demikian membuat kinerja uptrend emiten teknologi tidak berlangsung maksimal, sekaligus menjebak sejumlah kalangan investor, khususnya fundamental investor.
Badai fluktuasi pasar pernah menyasar emiten startup terkemuka seperti PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang menjadi penghuni baru bursa pada 6 Agustus 2021 di harga perdana Rp850, sebagaiman tertulis dalam data perdagangan, dikutip Minggu (20/3/2022).
Kendati sempat menyentuh level Rp1.325 pada Senin (9/8/2021), tren bearish mulai terbentuk didukung aksi profit taking investor secara besar-besaran. Berdasarkan data RTI per Jumat (18/3), investor asing melakukan aksi jual sebanyak Rp682,13 miliar secara year to date.
Sehingga terhitung per 18 Maret 2022, BUKA berada di bawah harga perdananya di Rp268, bahkan sempat menyentuh level terendahnya sepanjang masa di Rp258. Kinerja demikian membuat BUKA anjlok -68,47% dari harga perdananya.
Apabila menarik garis historis berdasarkan level all time high di Rp1.325 hingga all time low di Rp258, BUKA telah mengalami penurunan sebanyak -80,52%.
Salah satu faktor yang membuat harga BUKA terjun bebas adalah laporan keuangan yang masih merugi dalam prospektus penawaran perdananya. Pada 2018, BUKA mengalami rugi Rp2,23 triliun, kemudian rugi Rp2,82 triliun pada 2019, dan kembali rugi Rp1,3 triliun pada 2020.
Hingga kuartal III 2021, BUKA masih membukukan rugi Rp1,13 triliun, meskipun terpangkas 19,15% yoy dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Bagaimana Nasib GoTo?
Kendati dari segi nominal harga penawaran saham GoTo lebih murah dari BUKA, namun valuasi keuangan gabungan Gojek dan Tokopedia tersebut masih merugi.
Berdasarkan laporan keuangannya, Goto mencatatkan kerugian sebesar Rp14,20 triliun sepanjang 2020. Sedangkan per September 2021, GoTo merugi Rp11,58 triliun.
Analyst PT Universal Broker Sekuritas, Oktavianus Audi menilai GoTo memiliki keunggulan dibandingkan BUKA dari segi pertumbuhan ekonomi.
"Kalau kita bandingkan GoTo ini lebih sedikit unggul, karena walaupun secara laporan keuangan yang sudah dirilis masih membukukan kerugian sejak beberapa tahun terakhir, mungkin yang membedakan adalah GoTo punya ekosistem digital," kata Audi dalam IDX 2nd Session Closing, Selasa (15/3).
Faktor lain adalah berkat adanya regulasi baru terkait pemegang saham multiple share yang dinilai Audi memberikan kekuatan bagi GoTo jelang melantai di bursa.
"Saya pikir ini akan menjadi menarik dan ditambah lagi terkait dengan adanya POJK nomor 22/POJK.04/2021 dimana ada penerapan pemegang saham multiple share ini yang pada intinya adalah founder memiliki hak suara yang sama," jelasnya.
Terlebih, skema greenshoe dinilai dapat memberi keyakinan bagi investor bahwa harga saham GOTO bakal dijaga tidak lebih rendah dari harga IPO.
Langkah ini dinilai juga dapat menarik minat bagi investor global, sejalan dengan rencana GOTO melakukan dual listing di bursa saham luar negeri.
Kendati demikian, opsi atas nama 'stabilitasi harga saham' ini masih terbatas yakni hanya 15% dari lembar saham IPO dari GoTo. Sehingga, apabila setelah pembelian hingga 7,8 miliar lembar saham harganya masih turun, maka harga saham GoTo diprediksi bisa ambruk.
"Jadi saya pikir ini bisa menjadi pondasi yang cukup kuat karena memang tidak diperbolehkan dalam jangka waktu tertentu dilakukan penjualan oleh founder," terang Audi. (RAMA)