sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Suku Bunga sampai Resesi Global Biang Kerok Asing ‘Kabur’, IHSG pun Merana

Market news editor Melati Kristina - Riset
28/09/2022 12:34 WIB
IHSG melemah dalam sepekan terakhir di tengah aksi lego saham-saham big caps oleh asing dan dampak naiknya suku bunga.
Suku Bunga sampai Resesi Global Biang Kerok Asing ‘Kabur’, IHSG pun Merana. (Foto: MNC Media)
Suku Bunga sampai Resesi Global Biang Kerok Asing ‘Kabur’, IHSG pun Merana. (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot selama sepekan belakangan di tengah saham-saham big caps yang dilego asing dalam sepekan terakhir.

Adapun Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebutkan, dalam sepekan terakhir, IHSG sudah melemah hingga 1,06 persen pada pukul 10.48, perdagangan Rabu (28/9). Sementara, pada penutupan sesi I Rabu, penurunan IHSG dalam sepekan terpangkas menjadi minus 0,80%.

Memerahnya IHSG dalam sepekan tak lepas dari aksi jual bersih atau net sell oleh investor asing terhadap emiten-emiten dengan kapitalisasi pasar jumbo yang menjadi penopang IHSG.

Dalam seminggu, investor asing melego saham Tanah Air dengan nilai penjualan Rp3,49 triliun di pasar reguler, terutama di saham-saham raksasa.

Sebut saja, asing melego saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar Rp790,5 miliar dalam sepekan.

Sedangkan saham bank big four lain juga ikut dilego selama sepekan terakhir, seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang dilego masing-masing sebesar Rp402,4 miliar dan Rp38,7 miliar.

Aksi net sell asing tersebut menjadi sentimen merosotnya saham-saham big four dalam sepekan. Menurut data BEI per Rabu (28/9) pukul 11.04, dalam seminggu terakhir, saham BBCA terkontraksi hingga minus 0,59 persen sementara BBRI turun di minus 0,44 persen.

Sedangkan BBNI masih tumbuh positif sebesar 0,56 persen selama sepekan.

Meski bank big four lain mencatatkan net sell asing, PT Bank Mandiri Indonesia (BMRI) jadi satu-satunya emiten bank yang mencatatkan pembelian bersih (net buy) oleh investor asing, yaitu sebesar Rp83,43 miliar. Adapun sahamnya juga menghijau di 0,56 persen dalam sepekan.

Selain emiten perbankan, saham emiten big caps lainnya juga tak lepas dari aksi lego investor asing.

PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Astra International Tbk (ASII) juga dilego asing masing-masing Rp503,9 miliar dan Rp331,3 miliar dalam seminggu terakhir.

Adapun harga saham ASII juga ambles selama sepekan terakhir. Melansir data BEI pada periode yang sama, ASII merosot hingga minus 3,85 persen dalam sepekan. Sedangkan TLKM harga sahamnya masih menguat 2,03 persen selama seminggu terakhir.

Terakhir, saham raksasa batu bara PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) juga ikut dilego asing hingga Rp147,9 miliar dalam sepekan terakhir. Kendati demikian kinerja sahamnya seminggu belakangan masih menghijau 0,77 persen.

Melemahnya sejumlah saham big caps di tengah aksi jual investor asing turut memengaruhi indeks LQ45 yang ikut terkontraksi di minus 0,63 persen per Rabu (28/9) pada sesi I, pukul 11.18.

Di samping itu, pelemahan indeks saham juga terjadi pada bursa Asia hingga Wall Street dalam sepekan. Dilansir dari BEI pada Rabu (28/9), pukul 11.18, bursa Tokyo yakni Nikkei 225 Index (N225) ambruk hingga minus 6,15 persen dalam seminggu terakhir.

Sementara bursa Asia lainnya yaitu Shanghai Composite Index (SSEC) dan Strait Times Index (STI) milik Singapura juga terkontraksi masing-masing minus 5,25 persen dan minus 4,12 peren.

Menyusul amblesnya bursa Asia, Wall Street juga terkontraksi selama sepekan terakhir, dipimpin oleh ambruknya S&P 500 Index (GSPC) yang mencapai minus 6,48 persen.

Sementara Dow Jones Index (DJI) dan Nasdaq (IXIC) juga bernasib sama, yakni melemah masing-masing sebesar minus 6,08 persen dan minus 6,12 persen dalam seminggu belakangan.

Deretan Sentimen Negatif

Memerahnya indeks saham dunia, tak terkecuali Indonesia ditopang berbagai katalis, salah satunya dampak dari naiknya suku bunga The Fed untuk menekan inflasi AS.

Adapun Bank sentral AS atau Federal Reserve resmi menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) atau 0,75 persen, menjadi di kisaran 3,00 persen-3,25 persen. Angka ini merupakan level tertinggi sejak 2008.

Naiknya suku bunga The Fed juga mendorong kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk turut menaikkan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,25 persen.

Menyusul inflasi AS dan naiknya suku bunga negara tersebut, Inggris juga tengah menghadapi pelemahan poundsterling. Menurut data AP, poundsterling diperdagangkan di sekitar USD1,08 pada Selasa (27/9).

Sedangkan sehari sebelumnya, mata uang Inggris itu jatuh ke USD1,0373, terendah sejak desimalisasi mata uang pada tahun 1971, di tengah kekhawatiran akan pemotongan pajak oleh Menteri Keuangan Kwasi Kwarteng yang dapat menyebabkan utang pemerintah membengkak dan memicu inflasi lebih lanjut.

Selain itu, negara-negara Eropa juga sedang menghadapi krisis energi di tengah kecamuk perang Rusia-Ukraina.

Eropa banyak bergantung pada Rusia untuk impor gas alam. Namun, sanksi yang diberikan Eropa terhadap Rusia akibat perang tersebut membuat harga gas melonjak tinggi.

Menambah beban Eropa, Rusia saat ini menutup pipa Nord Stream 1  yang mengalirkan gas ke eropa di tengah sanski Barat.

Teranyar, ada kabar kebocoran gas menjelang musim dingin. Menurut pemberitaan Reuters, perusahaan energi Rusia, Gazprom, menemukan adanya kebocoran gas pada stasiun kompresor di Portovaya.

Kebocoran gas tersebut, menurut Rusia, terjadi akibat kesalahan Uni Eropa di tengah sanksi perang Rusia-Ukraina, yang menyebabkan Siemens Energy tak mampu melakukan pemeliharaan rutin terhadap peralatan pipa gas alam yang menjadi kunci pasokan gas alam ke Eropa. 

Adapun pihak Uni Eropa menuding, bahwa gangguan dari Gazprom merupakan skenario Rusia untuk menekan Eropa dengan menyetop pasokan gas alam dari Rusia ke Eropa menjelang musim dingin. 

Ditutupnya pipa gas bisa membuat musim dingin Eropa menjadi lebih dingin dan membikin pemerintah serta rumah tangga kesulitan.

‘Winter is coming’ (musim dingin tiba) diikuti harga listrik yang melonjak, gas mahal, membuat sejumlah pabrik di eropa terpaksa tutup.

"Dalam pandangan saya, krisis ini mungkin akan berlangsung tiga sampai empat tahun, bahkan jika perang (di Ukraina) segera berakhir, dan mudah-mudahan itu akan terjadi," kata Paul Deane, seorang peneliti di University College Cork, kepada Euronews.

Sebagai informasi, Rusia memasok 45% dari total impor gas UE tahun lalu, sekitar 155 miliar meter kubik (bcm). Lebih dari sepertiganya , 59,2 bcm, transit melalui Nord Stream 1.

Di Tepian Resesi Global?

Heboh-heboh di Eropa tersebut semakin memperburuk sentimen negatif di pasar.

Berhubungan dengan krisis energi, proyeksi dari lembaga dunia soal resesi global turut menambah kekhawatiran saat ini.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pada Selasa (27/9), misalnya, memperingatkan sejumlah krisis yang ada di tengah kecamuk perang memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan mengancam dunia jatuh ke jurang resesi.

Sebelum WTO, pada awal bulan ini, Bank Dunia (World Bank) mengeluarkan sebuah studi yang memprediksi resesi global pada awal tahun depan, menggaris bawahi pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan bank sentral di seluruh dunia memperketat kebijakan moneter mereka demi mengurangi inflasi.

Pada Juli lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global. Salah satu pejabat organisasi itu memperingatkan, dunia mungkin “segera tertatih-tatih di tepi resesi global.”

“Indikatornya tidak terlihat bagus,” kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala kepada Bloomberg selama wawancara pada hari Selasa. (ADF)

Periset: Melati Kristina

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement