Meski demikian, Vijongtius tak menutup mata bahwa bandul fluktuasi nilai tukar rupiah sewaktu-waktu bisa saja berbalik arah.
Hal ini seiring proyeksi berbagai pihak yang menilai Bank Sentral AS, The Federal Reserves (The Fed) berpeluang besar kembali menaikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat, demi memancing aliran dana masuk ke negara tersebut.
Jika proyeksi tersebut benar-benar terjadi, maka nilai tukar AS berpotensi kembali menguat. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi pelaku industri farmasi seperti KLBF, yang notabene suplai bahan bakunya masih sangat bergantung pada pasokan impor.
"Itu juga memang jadi concern kami, karena seperti halnya di industri, nilai impor kami masih tinggi, karena ada banyak (bahan baku) yang belum tersedia di domestik," tutur Vidjongtius.
Guna mengantisipasi risiko tersebut, menurut Vidjongtius, pihaknya telah memiliki anggaran khusus yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menambal potensi kerugian kurs dari aktifitas impor bahan baku yang dilakukan.