IDXChannel – Sejarah wabah penyakit mulut dan kuku ternak (PMK) di Indonesia dimulai pada 1887 bersamaan dengan diimpornya sapi-sapi dari Belanda kala itu. Sejak saat itulah wabah yang berasal dari virus ini mulai mewabah dalam pengelolaan ternak di Indonesia.
Kini, penyakit itu kembali menjadi sorotan setelah kasus PMK ini tercatat telah menjangkit di 18 provinsi di Indonesia. Mulai dari kasus PMK yang menginfeksi kambing di Medan, lalu Malang, dan kini tersebar di beberapa provinsi.
Apa sebenarnya penyakit yang menyerang ternak ini? Bagaimana sejarah wabah penyakit mulut dan kuku ternak (PMK) ini menyerang ternak di Indonesia? Simak penjelasannya dalam ulasan lengkap IDXChannel berikut ini.
Sejarah Wabah Penyakit Mulut dan Kuku Ternak di Indonesia
Melansir dari Buku Panduan Kesiagaan Darurat Vetereiner dari Kementerian Pertanian, penyakit mulut dan kuku ternak infeksi virus yang bersifat akut dan sangat menular pada hewan berkuku genap atau belah (cloven-hoofed). Penyakit ini ditandai dengan adanya pembentukan vesikel/lepuh dan erosi di mulut, lidah, gusi, nostril, puting, dan kulit sekitar kuku. Adanya penyakit ini tentunya sangat merugikan ekonomi karena menimbulkan penurunan produksi dan menghambat perdagangan hewan.
Sejarah wabah penyakit mulut dan kuku ternak (PMK) di Indonesia dimulai pada 1887 seiring dengan banyaknya impor sapi dari Belanda. Sempat hilang timbul, PMK kembali mewabah di Indonesia pada dekade 1970-an. Guru Besar ITB, Jannes Humuntal Hutasoit atau J.H Hutasoit yang kala itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Peternakan sangat berperan dalam pemetaan dan penanggulangan wabah ini di Indonesia.
Hubungan dan komunikasi yang baik J.H Hutasoit dengan Presiden Soeharto membuat wabah ini cepat tertanggulangi pada saat itu. Presiden Soeharto bahkan menerima rombongan dokter hewan dan ilmuwan dari Australia untuk penanganan wabah PMK ini.
Kebijakan menemukan obat dan vaksin pun dilakukan hingga dilakukan vaksinasi massal pada wilayah-wilayah yang terinfeksi dan memusnahkan ternak terinfeksi. Pengendalian dan pembatasan lalu lintas ternak pada waktu itu memang bisa dikatakan lebih gampang lantaran Presiden Soeharto bisa memanfaatkan militer yang dipimpin Benny Moerdani.
Vaksinasi massal dilakukan selama tiga tahun hingga pada 1986 Kementerian Pertanian melalui Surat Keputusan Menteri Nomor 260/1986 menyatakan bahwa Indonesia bebas PMK. Empat tahun kemudian, organisasi dunia untuk kesehatan hewan (OIE) mengeluarkan pernyataan resmi bahwa Indonesia bebas PMK. Hal ini tercantum dalam resolusi OIE Nomor XI/1990.
Selama era Reformasi, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 menjadi peraturan yang melindungi hewan ternak Indonesia dari kerentanan dan ancaman keamanan hayati. Aturan ini sekaligus mengatur impor daging hanya diperbolehkan dari negara bebas PMK (country-based) berdasarkan OIE.
Namun, berbagai kepentingan politik akhirnya membuat aturan impor daging menjadi Undang-undang Nomor 41 tahun 2014 yang memperbolehkan impor daging dari negara yang termasuk dalam zona bebas PMK. Dari aturan country-based diubah menjadi zone-based.
PMK Kembali Terdeteksi di Indonesia
Untuk pertama kalinya, pada 2016 Indonesia mengimpor daging dari India yang merupakan negara tidak bebas PMK dan tidak memiliki zona bebas PMK. Impor ini legal seiring adanya Peraturan Pemerintah Nomor 4/2016, turunan UU 41/2014. Menurut beberapa pakar, hal ini bisa menyebabkan kerentanan Indonesia terhadap kemunculan PMK lagi.
Beberapa kali kasus PMK memang tercatat masuk ke Indonesia, seperti kasus yang ditemukan di Blora pada 2015. Namun, kasus-kasus sebelumnya masih terlokalisasi dan bisa diatasi dengan cepat.
Hingga pada awal April 2022 lalu, PMK kembali terdeteksi menginfeksi beberapa hewan ternak di Indonesia melalui kambing impor dari Malaysia di Medan. Kini PMK telah menyebar ke-18 provinsi dengan perkiraan kasus mencapai 150 ekor ternak yang terinfeksi.
Itulah sejarah wabah penyakit mulut dan kuku ternak atau yang dikenal sebagai PMK yang pernah terjadi di Indonesia. Penyakit ini kembali terdeteksi di Indonesia dan membutuhkan penanganan yang cepat dari pemerintah agar tidak meluas. Sebab, jika sudah mewabah, potensi ketergantungan Indonesia terhadap daging impor pun akan semakin meningkat.