IDXChannel - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan ancaman krisis pangan 2050 mendatang akibat krisis air sebagai dampak perubahan iklim. Apalagi, Kepala BMKG Dwikorita mengungkapkan data global maupun nasional menunjukkan tren peningkatan suhu yang signifikan sejak 1975.
“Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, dengan kenaikan suhu global mencapai 1,55°C di atas periode pra-industri. Dampaknya, frekuensi dan intensitas banjir maupun kekeringan semakin ekstrem dan menimbulkan krisis air di banyak wilayah,” kata Dwikorita dalam keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (28/9/2025).
Lebih lanjut, Dwikorita menekankan jika laju pemanasan global gagal ditekan, Indonesia berisiko menghadapi kerawanan pangan serius pada 25 tahun mendatang.
Food and Agriculture Organization (FAO), kata dia, memprediksi dunia akan mengalami ancaman krisis pangan pada 2050 mendatang akibat krisis air sebagai dampak perubahan iklim.
“Kita tidak bisa hanya fokus pada mitigasi bencana, tapi juga memastikan infrastruktur ke depan mampu menjawab ancaman krisis pangan dan ketersediaan air. Perencanaan bendungan, irigasi, hingga tata kelola sumber daya air harus berbasis data iklim terbaru,” tegasnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, mengatakan Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dari alam. Bibit dan siklon tropis yang muncul bukan sekadar fenomena meteorologis biasa, melainkan membawa dampak nyata di berbagai wilayah.
Data BMKG menunjukkan setiap tahun hujan harian maksimum terus mengalami peningkatan, dan di kawasan seperti Puncak serta Bali, curah hujan ekstrem telah memicu banjir bandang, longsor, hingga kerusakan infrastruktur.
“Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan alarm nyata bahwa kita harus segera bertindak,” ujarnya.
Guswanto menambahkan, diperlukan sinergi antar Kementerian dan Lembaga untuk memperkuat ketahanan infrastruktur dan lingkungan. Upaya itu dapat dilakukan dengan merancang infrastruktur berbasis data hujan ekstrem, merehabilitasi lahan kritis serta menormalisasi sungai, dan membangun infrastruktur hijau seperti taman resapan, sumur infiltrasi, hingga sistem peringatan dini berbasis cuaca.
“Cuaca ekstrem bukan hanya ancaman masa depan, tetapi kenyataan hari ini. Karena itu, mari kita ubah cara kita membangun dan merawat lingkungan, sebab alam tidak menunggu,” tegasnya.
Sementara, Wakil Menteri PU Diana Kusumastuti yang mengunjungi kantor BMKG juga menyambut paparan tersebut sebagai masukan penting bagi Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Ia menegaskan pembangunan infrastruktur harus benar-benar memperhitungkan perubahan pola curah hujan, potensi longsor, dan risiko kekeringan.
“Informasi dari BMKG sangat relevan untuk perencanaan irigasi, bendungan, hingga pengendalian banjir. Jika ancaman kekeringan meningkat, maka kita harus memastikan pembangunan irigasi dan bendungan dilakukan tepat sasaran. Demikian juga terkait banjir, perlu peningkatan operasi dan pemeliharaan agar sedimentasi tidak mengganggu fungsi sungai dan jembatan,” ujar Diana.
Selain itu, Wamen PU menyoroti pentingnya penguatan konstruksi infrastruktur terhadap bencana hidrometeorologi, termasuk banjir, longsor, serta risiko terhadap fondasi jembatan akibat luapan sungai.
“Standar SNI, desain jembatan, serta sistem peringatan dini harus terus diperbarui agar lebih adaptif terhadap dinamika iklim,” imbuhnya.
Pertemuan ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor antara BMKG dan Kementerian PU. Dengan data dan prediksi iklim yang akurat, diharapkan setiap pembangunan infrastruktur dapat lebih siap menghadapi risiko perubahan iklim, sekaligus mendukung ketahanan pangan dan air nasional.
(Febrina Ratna Iskana)