Kedua, AHY menilai masih lemahnya sistem pengawasan dan inkonsistensi penegakan hukum membuat pelanggaran ODOL terus berulang. Meskipun dari sisi regulasi sudah tercantum larangan penggunaan truk ODOL atas dasar keselamatan.
Ketiga, benturan kepentingan antara pengemudi, pemilik kendaraan, dan pemilik barang. Perbedaan orientasi antara pihak-pihak ini kerap memicu pelanggaran, karena masing-masing berusaha menekan biaya dan memaksimalkan keuntungan.
Keempat, Rendahnya kesejahteraan pengemudi angkutan barang. Menurut AHY, kondisi ekonomi sopir yang belum sejahtera membuat mereka rentan terhadap tekanan atau praktik melanggar aturan ODOL demi memenuhi target pendapatan.
Kelima, masih adanya praktik pungutan liar (pungli) di sektor angkutan barang. Dia menilai praktik pungli masih menjadi beban tambahan bagi pengemudi dan pelaku usaha, serta menghambat efektivitas penegakan aturan di lapangan.
Lebih lanjut, AHY menyebut pemerintah telah menyiapkan sembilan rencana aksi nasional sebagai langkah konkret menuju penerapan zero ODOL. Program ini mencakup penguatan regulasi, digitalisasi pengawasan, peningkatan kesejahteraan pengemudi, hingga pembenahan infrastruktur logistik nasional.
(Dhera Arizona)