Gempa Bawean, lanjut Daryono, berpusat di zona aktivitas kegempaan rendah (low seismicity).
"Sehingga masyarakat awam menilai Gempa Bawean sebagai “gempa tidak lazim”, karena terjadi di wilayah yang jarang terjadi gempa dangkal, Selama ini wilayah Laut Jawa lazimnya menjadi episenter gempa-gempa hiposenter dalam (deep focus) akibat deformasi slab Lempeng Indo-Australia yang tersubduksi di bawah Lempeng Eurasia tepatnya di bawah Laut Jawa dengan kedalaman sekitar 500-600 km," jelasnya.
Daryono juga mengatakan bahwa Gempa Bawean berpusat di zona Sesar Tua Pola Meratus. Wilayah Laut Jawa utara Jawa Timur secara geologi dan tektonik berada pada zona Sesar Tua Pola Meratus yang mengindikasikan keberadaan jejak sesar-sesar/patahan yang berusia tua.
Gempa Bawean, lanjutnya, membuktikan bahwa ternyata jalur sesar di Laut Jawa masih aktif, sekaligus menjadi pengingat kita untuk selalu waspada terhadap keberadaan sesar aktif dasar laut yang jalurnya dekat Pulau Bawean yang berpenduduk. Gempa dapat berulang dan terjadi kapan saja. Meskipun termasuk dalam zona kegempaan rendah, Laut Jawa utara Jawa Timur tetap memiliki potensi gempa karena secara geologi dan tektonik terdapat jalur Sesar Tua Pola Meratus.
"Sulit untuk mengatakan sebuah zona sesar tua (sutur) disebut stabil dan aman dari gempa, karena sudah banyak bukti aktivitas gempa yang terjadi di zona stabil dimana terdapat sutur, contohnya di Benua Australia, USA dll. Meskipun masih dalam perdebatan terkait residual stress tetapi fakta menunjukkan bahwa bahwa zona stabil masih bisa terjadi gempa dimana energi gempa sangat mungkin terbangun dari super slow stress accumulation," kata Daryono.