Fajar pun memberikan contoh kasus yang merupakan upaya perlawanan balik para koruptor, yaitu dengan menjelekkan dan merusak marwah institusi seperti menjual nama Jaksa Agung, seperti yang dilakukan Amel Sabar, makelar kasus penyidikan korupsi pertambangan ore nikel di Blok Mandiodo yang saat ini ditangani Pidsus Kejagung.
Bahkan, dalam persidangan sebuah kasus, ada juga saksi atau terdakwa yang menyebut nama Jaksa Agung dengan sebutan Papa.
Namun menurut Fajar, hal tersebut tidak bisa dijadikan fakta karena hanya berdasarkan asumsi dan cara makelar kasus memanfaatkan nama pejabat kejaksaan untuk memuluskan aksi kejahatannya.
"Orang-orang seperti Amel dan para koruptor inilah yang sudah ditangkap dan terdesak melakukan pengalihan isu dengan melemparkan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar dan hanya menjadi asumsi. Para koruptor ini pastinya menggunakan segala cara untuk membangun opini-opini negatif baik kepada perorangan maupun institusi Adhyaksa, tak terkecuali menargetkan Jaksa Agung," tutur Fajar.
Berkaca dari kondisi tersebut, Fajar meminta jajaran Kejaksaan untuk tetap fokus menangani perkara korupsi hingga tuntas.
Misalnya terhadap penanganan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime) harus diikuti penanganan dan pembuktian tindak pidana lanjutannya (follow up crime) seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Selain itu, Jaksa Agung harus mendorong jajaran bidang pengawasan tidak melakukan pemantauan dan inspeksi secara formalitas semata atau tidak sekadar mencari-cari kesalahan yang tidak substansial. Sebab, jajaran Bidang Pengawasan memikul tanggung jawab besar dalam meningkatkan profesionalitas dan integritas dari seluruh Insan Adhyaksa sebagai para pendekar hukum," tegas Fajar. (TSA)