sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Kubah Masjid Terbakar, Ini Sejarah Jakarta Islamic Centre yang Berdiri di Lahan Bekas Prostitusi 

Syariah editor Ratih Ika Wijayanti
20/10/2022 10:11 WIB
Sejarah Jakarta Islamic Centre (JIC) menarik perhatian publik usai kubah masjidnya terbakar hebat pada Rabu (19/10) kemarin.
Kubah Masjid Terbakar, Ini Sejarah Jakarta Islamic Centre yang Berdiri di Lahan Bekas Prostitusi. (Foto: MNC Media)
Kubah Masjid Terbakar, Ini Sejarah Jakarta Islamic Centre yang Berdiri di Lahan Bekas Prostitusi. (Foto: MNC Media)

IDXChannelSejarah Jakarta Islamic Centre (JIC) menarik perhatian publik usai kubah masjidnya terbakar hebat pada Rabu (19/10) kemarin. Kabar ini pun langsung menjadi perbincangan hangat di media sosial dan langsung menjadi viral. 

Masjid Raya JIC yang berdiri megah di Kramat Jaya Raya, Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Meski demikian, banyak yang tidak tahu bahwa masjid berarsitektur megah ini di bangun di Kawasan Kramat Tunggak yang sebelumnya menjadi lokalisasi terkenal di Indonesia. Sebelum berdirinya masjid, lokasi tersebut memang banyak digunakan untuk aktivitas prostitusi dan sarang maksiat.

Bagaimana sejarah Jakarta Islamic Centre? Bagaimana kawasan lokalisasi tersebut bisa menjadi pusat pengkajian dan pengembangan Islam? IDXChannel merangkum informasi lengkapnya sebagai berikut. 

Sejarah Jakarta Islamic Centre 

Jakarta Islamic Centre merupakan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam yang ada di Jakarta. Masjid megah ini dibangun di atas lahan seluas 10 hektare yang sebelumnya merupakan lokasi prostitusi ternama di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. 

Dilansir dari laman resmi Jakarta Islamic Centre, pada mulanya lokasi resosialisasi (Lokres) Kramat Tunggak merupakan nama Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Tunggak. Area tersebut menempati lahan seluas  109.435 m2 dan terdiri dari sembilan Rukun Tetangga (RT). Area ini bahkan tak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga dikenal hingga kawasan Asia Tenggara, terutama bagi para lelaki hidung belang. 

Lokalisasi ini pertama kali dibuka pada tahun 1979-an dengan 300 orang Wanita Tuna Susila (WTS) dan 76 orang germo. Seiring berjalannya waktu, jumlah WTS dan germo terus bertambah hingga pada tahun 1999 mencapai 1.615 WTS yang dikelola oleh 258 germo atau mucikari. Para WTS dan germo ini hidup di kawasan tersebut dan menempati sekitar 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar. 

Pertumbuhan pesat lokalisasi ini lantas menimbulkan permasalah sosial bagi masyarakat khususnya masyarakat Jakarta. Citra Jakarta yang pada mulanya lekat dengan kultur Betawi dan identik dengan komunitas Islamnya pun mulai terdampak dengan adanya hal tersebut. Hal inilah yang lantas membuat ulama dan masyarakat mendesak pemerintah agar PKSW Teratai Harapan Tunggak ditutup. 

Dinas Sosial bersama Universitas Indonesia pun lantas melakukan penelitian tentang sejauh mana penolakan masyarakat terhadap PKSW tersebut. Hingga pada tahun 1997, hasil penelitian tersebut menjadi rekomendasi untuk pemerintah agar lokalisasi tersebut ditutup. 

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement