sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Limbung Imbas Potong Komisi Google, Bos Startup: Ini Pemalakan

Technology editor Maulina Ulfa - Riset
25/10/2022 06:30 WIB
Kebijakan tarif layanan pada aplikasi sebesar 15 persen hingga 30 persen dengan sistem GBP disebut tak ubahnya sebagai aksi ‘pemalakan’ semata.
Limbung Imbas Potong Komisi Google, Bos Startup: Ini Pemalakan. (Ilustrasi)
Limbung Imbas Potong Komisi Google, Bos Startup: Ini Pemalakan. (Ilustrasi)

Tak Punya Daya Melawan

Kondisi ini ditanggapi oleh seorang executive startup RI sebagai bentuk kesewenangan Google terhadap perusahaan rintisan. Melalui wawancara ekslusif dengan tim IDX Channel, pada Jumat (21/10/22), executive startup RI ini mengeluhkan kebijakan Google tersebut.

Executive startup itu menyebut pengenaan GPB ini hanya untuk sebagian kecil pengembang aplikasi atau hanya sekitar 3 persen. Kondisi ini mengacu pada kebijakan pengenaan GPB pada perusahaan yang memiliki nilai total transaksi USD1 juta atau lebih.

“Pertanyaannya, kenapa cuma 3 persen. Ini kan diskriminatif. Kasarannya, 3 persen startup harus membiayai seluruh platform lain. Kalau yang gede-gede (Gojek, Tokopedia) diem aja, karena mereka tidak terlalu kena dampak. Tapi yang kecil-kecil yang kena,” imbuh executive startup ini.

Terkait dengan sistem pembayaran, Google Indonesia sebelumnya menyatakan, menyediakan beragam payment system. Mulai dari kartu kredit atau debit, tagihan ponsel, e-wallet, saldo Google Play dan kartu voucher Google Play, pembayaran tunai, dan transfer bank rekening virtual.

“Pada tahun ini, kami mengumumkan program uji coba baru untuk sistem penagihan sesuai pilihan pengguna (User Choice Billing) dalam aplikasi di Google Play,” kata Google dalam keterangan yang didapat tim IDX Channel.

Lagi-lagi, tanggapan industri startup tentang pernyataan Google cukup kontradiktif.

“Iya kami boleh memilih pembayaran dengan payment gateaway yang lain, namun hanya untuk 4 persen dari total 30 persen yang harus dibayarkan. Sisanya atau sekitar 26 persen tetap harus melalui GPB. Kalau gitu gak pilihan dong. Buat apa ngasih pilihan kalau tetap ditarik sebesar itu,” ucap si executive startup.

Mewakili industrinya, ia menyebut bahwa ini tak ubahnya sebagai aksi pemalakan semata.

“Logikanya buat apa kita bayar lebih banyak dibanding ke platform yang ngasih kita service, itu kan berarti namanya malakin,” imbuhnya.

Melihat kondisi yang ada, para executive startup mengaku tidak mampu melakukan apa-apa untuk melawan. Bahkan untuk memakai jalur hukum, para executive industri ini cukup pesimis akan mampu menghadapi ‘kuasa’ Google.

Hal ini karena sumberdaya yang timpang antara executive industri startup dengan Google itu sendiri, terutama terkait pendanaan.

“Ini menjadikan kondisi kami serba sulit, karena industri ini masih baru, kami tidak punya resource untuk menghadapi google,” katanya pesimis.

Di Amerika Serikat (AS) sebagai negara asal perusahaan raksasa teknologi ini, Google juga mendapat gugatan anti-monopoli dari Departemen Kehakiman. Bahkan kasus ini masih bergulir sejak 2020 lalu dan belum memasuki persidangan selanjutnya.

“Kalau di AS kan ada pemain besar seperti Netflix, Spotify, AmazonPrime, dan lainnya yang punya kapasitas menghadapi Google,” terang si executive startup.

Perlunya Peran Pemerintah sebagai ‘Wasit’

Imbas kebijakan Google ini menyebabkan kerentanan startup semakin menjadi. Perlu adanya sinergi dan komunikasi dari pihak berwenang dalam menyelesaikan sengketa ini.

Untuk itu, pemerintah didorong agar turut andil menyelesaikan persoalan ini untuk mendukung ekosistem bisnis startup yang lebih adil.

Push ke google harusnya dari pemerintah dan KPPU. Yang bisa kami lakukan, ya, dengan berusaha mengurangi ketergantungan sama Google. Karena mau mediasi dengan Google pun juga percuma,” kata executive startup tersebut.

Dalam menengahi kondisi ini, peran pemerintah dan stakeholder (pemangku kepentingan) terkait sangat dibutuhkan sebagai wasit.

Dalam pasar yang sehat, monopoli dapat ditekan dengan adanya kebijakan yang tepat dan tidak memihak kepada salah satu aktor.

“Kemarin, KPPU sudah memulai penyelidikan, dan sudah memanggil sejumlah startup yang terdampak. Kami berharap lewat KPPU dan peran pemerintah mulai dari Kemenparekraf, Kemenkominfo hingga Kemenko Perekonomian mau membantu kami, namun masih lambat responnya,” imbuhnya lagi.

Ke depan, executive bisnis startup tersebut menyarankan, perlunya regulasi yang mengatur anti-monopoli untuk mewujudkan kedaulatan digital di Tanah Air. (ADF)

Halaman : 1 2 3 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement