IDXChannel - Dalam pembukaan BUMN Startup Day 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung soal 9 persen startup atau perusahaan rintisan mengalami kegagalan di awal bisnisnya.
Dari jumlah itu, menurut Jokowi sebanyak 42 persen startup gagal karena tidak ada kebutuhan pasar. Sementara, 29 persen startup kehabisan dana, 23 persen karena susunan tim, 19 persen kalah kompetisi, dan 18 persen karena permasalahan harga.
"Hati-hati 80 persen sampai 90 persen startup gagal saat merintis," kata Jokowi pada event tersebut di ICE BSD City, Tangerang, Senin (26/9).
Potret kegagalan perusahaan rintisan inilah yang menjadi kekhawatiran executive industri ini. Ekosistem startup yang masih seumur jagung memiliki kerentanan ganda baik dari sisi ekonomi maupun non ekonomi.
Di sisi ekonomi, aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan sejumlah startup di Indonesia meningkat beberapa waktu terakhir. Efisiensi dan ketidakpastian kondisi ekonomi global digadang menjadi alasan banyak perusahaan rintisan mengambil langkah tersebut.
Di sisi non ekonomi, tantangan justru datang dari enabler ekosistem startup itu sendiri. Google sebagai perusahaan teknologi terbesar sekaligus pasar utama bagi pengembang aplikasi startup diduga melakukan aktivitas monopoli dalam bisnisnya.
Diketahui bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai melakukan penyelidikan kepada raksasa Silicon Valley tersebut atas dugaan pelanggaraan UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh Google dan anak usahanya di Indonesia.
KPPU menduga, Google telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi secara digital di Indonesia.
Penyalahgunaan posisi dominan ini tertuang dalam kebijakan mewajibkan penggunaan Google Play Billing (GPB) terhadap aplikasi yang listing di Google Play.
GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store.
Adapun Google disebut membebankan tarif layanan pada aplikasi sebesar 15 persen hingga 30 persen dari nilai transaksi.
Nilai transaksi yang dimaksud adalah pembelian yang terjadi di Google Play Store. Di antaranya, item digital, layanan langganan aplikasi, fungsi atau konten aplikasi, software dan layanan Cloud.
Adapun kriteria pengembang aplikasi yang terkena pemotongan 15% adalah yang memiliki pendapatan (revenue) USD 1 juta. Bahkan, jika pendapatan di atas itu, maka langsung terdampak potongan 30%.
Kebijakan ini dinilai memberatkan bagi executive startup di RI. Ini mengingat kondisi bisnis yang kompetitif dan sulit akibat ketidakpastian ekonomi yang saat ini menghantui, pemotongan sebesar 30 persen ini cukup membebani keuangan perusahaan.
Industri yang Limbung
Kondisi bisnis startup Indonesia memang terlihat lesu. Tak seperti di awal kemunculannya, para pemain startup saat ini lebih bersikap berhati-hati dalam pengembangan bisnis mereka.
Meskipun ada beberapa perusahaan rintisan yang berubah status jadi unicorn atau yang memiliki valuasi di atas USD1 miliar hingga berhasil melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), tak sedikit pula yang harus gulung tikar tak bisa mempertahankan bisnisnya.
Sebut saja, Fabelio, startup penjualan furniture yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.47/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.JKT.PST, tertanggal 5 Oktober 2022.
Tak hanya itu, gelombang PHK juga ramai-ramai menyerang startup. Sebut saja Zenius hingga SiCepat. Walaupun pertumbuhan EduTech terlihat positif, ada beberapa perusahaan EduTech yang melakukan PHK dalam jumlah besar, di antaranya adalah Zenius dan Pahamify.
Tak tanggung-tanggung, PHK terjadi terhadap 200 karyawan Zenius, sedangkan Pahamify tidak membuka informasi berapa jumlah karyawan yang terdampak.
Startup jasa kurir dan logistik SiCepat juga melakukan kebijakan serupa. Meskipun SiCepat memiliki pertumbuhan jumlah karyawan baru, di awal tahun 2022 SiCepat diberitakan melakukan PHK massal terhadap kurirnya.
PHK hingga pailit ini merupakan kondisi yang menggambarkan bisnis startup Indonesia hari ini.
Kebijakan Google Play Billing (GPB) yang diberlakukan Google Indonesia per 1 Juni 2022 ini menambah pelik keadaan.
Menurut keterangan resmi Google Indonesia yang didapat tim IDX Channel, mayoritas developer atau sekitar 99 persen yang dikenai tarif layanan harus memenuhi beberapa syarat.
Di antaranya, bagi developer dengan penghasilan pertama USD1 juta setiap tahunnya tarif layanannya adalah 15 persen. Adapun 30 persen dikenakan untuk penghasilan melebihi USD1 juta setiap tahunnya.
Tetap saja, jumlah ini dianggap terlalu besar dan berdampak signifikan bagi keuangan perusahaan.