Adapun kriteria pengembang aplikasi yang terkena pemotongan 15% adalah yang memiliki pendapatan (revenue) USD 1 juta. Bahkan, jika pendapatan di atas itu, maka langsung terdampak potongan 30%.
“Mereka benar memakai posisi dominannya untuk memaksa platform menggunakan GPB. Makin gede revenue, maka makin gede dipalakinnya, nih. Sekarang sudah seperti itu sistemnya mereka (Google) ngambil 30%. Karena kalau enggak (bayar) kita yang dikeluarin dari aplikasi gitu,” ujar narasumber saat dihubungi tim IDX Channel, Jumat (21/10).
Menurut narasumber ini, 30% potongan tersebut merupakan total dari nilai transaksi.
“Jadi, misalnya, ada orang beli produk saya satu juta, maka langsung di ambil 300 ribu. Dulu sebelumnya biasanya di bawah 2%, misalnya ada transaksi satu juta kena potong ya 20 ribu-an tergantung jenis pembayaran apa,” imbuhnya lagi.
Mereka yang ‘Menjerit’
Ia menambahkan, kondisi ini sudah bukan lagi pada level memprihatinkan, melainkan juga bisa membunuh industri startup Tanah Air.
“Banyak yang terdampak karena sebagian dari mereka (industri startup) marginnya nggak ada 30%. Atau opsinya, kita harus naikin harga dan merugikan konsumen,” imbuhnya.
Sayangnya, imbas kebijakan pemotongan 30% ini sangat berdampak pada daya tahan startup di Indonesia. Mengingat perusahaan rintisan merupakan salah satu sektor yang masih berkembang.
“30% revenue ilang itu signifikan. Para player [pemain] mau tidak mau harus naikin harga berdampak pada konsumen yang makin menurun. Banyak player yang sudah kena dampak, misalnya beberapa harus layoff,” katanya
Sebelumnya, beberapa startup garapan anak bangsa tengah menghadapi ketidakpastian keuangan dengan melakukan layoff atau pemutusan hubungan kerja (PHK).
Para startup yang melakukan PHK merupakan mereka yang valuasinya tidak masuk dalam status unicorn atau di bawah USD1 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Gelombang PHK startup ini kian terasa antara Juni hingga September tahun ini, bahkan diprediksi akan terus berlanjut hingga tahun depan.
Pada Juni 2022, perusahaan education technology (edtech) Pahamify melakukan PHK terhadap karyawan. CEO atau Co-Founder Syarif Rousyan Fikri mengakui memutuskan PHK demi mengoptimalkan proses bisnis.
Startup pendidikan Binar Academy juga melakukan PHK terhadap 20 persen dari total karyawannya pada 17 Oktober lalu. Hal itu merupakan bagian dari strategi menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Tak hanya itu, startup edukasi Zenius juga melakukan hal yang sama terhadap 200 karyawan mereka pada Juli lalu. Alasan PHK diambil karena perusahaan disebut terdampak kondisi makro ekonomi yang tidak menentu.
“Apalagi kondisi ekonomi sedang buruk, ditambah kebijakan Google ini bikin kita makin sulit,” imbuh narasumber executive industri startup ini.
Kehadiran Google dan berbagai layanan digitalnya awalnya memberikan angin segar bagi para executive startup. Bahkan di negeri asalnya, dua dekade lalu, Google menjadi ‘darling of Silicon Valley’ yang memberikan harapan dan kesempatan bagi para pengguna internet dan bisnis daring.
Kini, mengutip Departemen Kehakiman AS, Google digambarkan sebagai ‘monopoly gatekeeper’ (penjaga gerbang monopoli) bagi dunia maya dan menjadi perusahaan terkaya di planet bumi dengan nilai pasar mencapai USD 1 triliun dan pendapatan melebihi USD 160 miliar. (ADF)