Advisor OJK Ahmad Buchori dalam acara Sharia Economic & Financial Outlook (ShEFO) menyebut, meski pangsa pasar masih rendah, pertumbuhan aset, pembiayaan dan dana pihak ketiga (DPK) perbankan syariah lebih tinggi dibandingkan bank konvensional.
Aset perbankan syariah tumbuh 15,63% atau sebesar Rp802,26 triliun pada 2022. Aset IKNB syariah tumbuh 21,66% atau sebesar Rp146 triliun dan pasar modal syariah tumbuh 15,54 % atau sebesar Rp1.427 triliun.
Dari segi pembiayaan, perbankan syariah lebih banyak dimanfaatkan untuk perdagangan, sektor konstruksi, pengolahan, pertanian, dan kehutanan.
"Kami melihat dari pertumbuhannya insya Allah syariah relatif lebih tinggi dibandingkan bank konvensional," imbuh dia.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) mencatat banyak negara non muslim mulai mempraktikan sistem keuangan syariah yang bersifat inklusif.
Salah satunya London, yang kini menjadi pusat bisnis dan keuangan syariah di kawasan Eropa. Bahkan, Inggris telah memiliki instrumen likuiditas berbasis syariah.
Berdasarkan laporan refinitiv dan IC, keuangan syariah global diprediksi terus naik lebih dari USD3,609 pada 2024. Peningkatan ini tidak hanya melalui perbankan syariah, tapi juga melalui pasar modal dan fintech syariah.
Bola Panas Spin Off Unit Syariah
Industri perbankan nasional sebelumnya sempat kalang kabut dengan kewajiban pemisahan bisnis (spin off) terhadap Unit Usaha Syariah (UUS) yang dimiliki agar dapat berdiri sendiri sebagai Bank Umum Syariah (BUS).
Semula kewajiban tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, di mana spin off berlaku selambat-lambatnya sebelum 2023 berakhir jika asetnya sudah 50% dari induk.
Kini bola panas spin off tersebut diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) dengan mandat pengaturan berada di tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini akhirnya menjadi angin segar bagi industri perbankan untuk mempersiapkan diri.