Menurut dia, meningkatnya suku bunga acuan juga berdampak bagi peningkatan biaya dana perbankan atau biaya bunga DPK. Di sisi lain, perbankan Indonesia lebih berhati-hati dalam menaikkan suku bunga kredit meskipun suku bunga dana cenderung meningkat, sehingga dapat menyebabkan tekanan pada profitabilitas perbankan.
"Namun demikian, mengingat profitabilitas perbankan yang memang sangat baik, dan masih didukung oleh pertumbuhan kredit, NIM dan ROA industri perbankan masih tergolong tinggi meskipun
mengalami sedikit penurunan," tuturnya.
Pertumbuhan DPK perbankan meskipun tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, namun pertumbuhannya masih lebih rendah dibandingkan kredit. Dia menuturkan, pertumbuhan DPK yang melambat utamanya pada deposito, yang juga dipengaruhi oleh banyaknya alternatif instrumen penempatan dana selain deposito perbankan.
Gap antara pertumbuhan kredit dan DPK menyebabkan bank melakukan penjualan surat berharga dan mengurangi alat likuid. Hal ini juga menyebabkan likuiditas perbankan mengalami tekanan terlihat dari menurunnya rasio likuiditas bank, meskipun masih jauh di atas threshold dan berada pada level yang lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi.
Dian menuturkan, kenaikan suku bunga global utamanya FFR membuat investasi di UST Bond menjadi lebih menarik karena imbal hasil (yield) yang ditawarkan semakin tinggi, dan hal itu juga didukung suku bunga deposito USD di AS yang dapat mencapai 5,25 persen-5,75 persen.