- Harga Emas Rekor Baru
Harga emas sempat mencetak rekor tertinggi baru pada Kamis (3/4/2025), seiring lonjakan permintaan aset safe haven setelah Trump mengumumkan tarif yang lebih agresif dari perkiraan terhadap sejumlah mitra dagang utama.
Langkah ini memperluas ketegangan dalam perang dagang global dan mengguncang pasar.
Pada sesi awal Kamis pagi, harga emas sempat menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa di USD3.167,83 per troy ons.
- AS kenakan Tarif 32 Persen ke Indonesia
Pemerintahan AS di bawah Donald Trump menetapkan tarif impor 32 persen terhadap Indonesia, yang berpotensi menekan surplus dagang Indonesia. Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia, Ezaridho Ibnutama, menilai kebijakan ini dapat menggerus nilai ekspor Indonesia dalam beberapa bulan ke depan, terutama karena AS merupakan eksportir terbesar kedua bagi Indonesia.
Menurut Ezaridho, negara mitra dagang lain, seperti China, Vietnam, dan India, tidak dapat sepenuhnya menggantikan pasar AS. China menghadapi tantangan dalam ekspansi manufaktur, sementara Vietnam dan India masih bergantung pada permintaan dari AS.
Tarif ini dinilai sebagai bagian dari upaya AS mengurangi dominasi China dan memperkuat peran domestiknya sebagai pusat manufaktur global.
Lebih lanjut, kebijakan ini dapat mendorong negara-negara terdampak untuk membentuk blok perdagangan alternatif guna mengurangi ketergantungan pada AS.
NH Korindo memperkirakan bahwa keterbatasan akses ke pasar AS akan mendorong negara-negara seperti Indonesia untuk lebih berorientasi pada perdagangan regional dan negara-negara tetangga.
Ezaridho juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap investasi asing langsung (FDI) di Indonesia.
Dengan ekonomi yang masih bergantung pada ekspor dan FDI, tekanan tarif baru ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
- Ekonomi Asia Tenggara Terdampak Parah
Sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam dan Thailand, berencana menggelar pembicaraan dengan AS setelah terkena tarif tinggi dari pemerintahan Presiden Donald Trump. Enam dari sembilan negara di kawasan itu dikenai tarif antara 32 persen hingga 49 persen, jauh lebih besar dari ekspektasi.
Mengutip Reuters, Kamis (3/4/2025), Vietnam terkena tarif 46 persen yang berdampak signifikan pada ekonominya, mengingat ekspor ke AS menyumbang hampir 30 persen dari PDB-nya.
Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh membentuk satuan tugas khusus untuk menangani dampak kebijakan ini, menegaskan bahwa target pertumbuhan 8 persen tetap tidak berubah. Pengamat menilai tarif ini mengancam model pertumbuhan berbasis ekspor Vietnam, yang selama ini menarik banyak perusahaan multinasional seperti Apple dan Samsung. Vietnam sebelumnya telah memberi sejumlah konsesi kepada AS dan kemungkinan akan bernegosiasi lebih lanjut.
Sementara itu, Thailand yang dikenai tarif 37 persen berharap dapat menurunkannya melalui negosiasi. Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra menekankan pentingnya diplomasi agar target pertumbuhan 3 persen tetap tercapai. Menteri Perdagangan Pichai Naripthaphan optimistis negosiasi akan berjalan baik, mengingat hubungan Thailand-AS yang cukup erat.
Malaysia, yang menghadapi tarif 24 persen, memilih tidak melakukan aksi balasan dan akan berdialog dengan AS untuk mencari solusi. Sementara itu, Kamboja dikenai tarif 49 persen, yang menghantam sektor garmen dan alas kakinya. Seorang konsultan investasi menyebut Kamboja tak memiliki daya tawar dalam negosiasi dan akan berada di antrean paling belakang dalam pembicaraan dengan Washington.
- Respons Uni Eropa hingga Korea
Uni Eropa bersiap menerapkan langkah balasan terhadap tarif 20 persen yang diumumkan Presiden Trump, dengan rencana mengenakan tarif hingga 50 persen pada produk AS seperti whiskey dan motorboats jika negosiasi gagal.
Sementara itu, Korea Selatan akan memberikan dukungan darurat bagi industri terkena dampak, termasuk otomotif, setelah AS mengenakan tarif 25 persen terhadap ekspornya.
Menurut Wall Street Journal, Gedung Putih menetapkan tarif baru berdasarkan jumlah yang diklaim sebagai tarif yang dikenakan negara lain terhadap AS, dengan perhitungan berbasis defisit perdagangan barang.
Dalam pidatonya, Presiden Trump menyebut angka yang mencakup "manipulasi mata uang dan hambatan perdagangan," meskipun tidak selalu mencerminkan tarif aktual negara lain terhadap impor AS.
Sebagai contoh, tarif rata-rata China terhadap AS tercatat 23 persen, tetapi Gedung Putih menghitungnya sebagai 67 persen dengan membagi defisit perdagangan USD 295,4 miliar dengan total impor AS dari China sebesar USD 438,9 miliar. Gedung Putih merujuk pada penjelasan USTR, yang menyatakan bahwa tarif ini dihitung untuk menyeimbangkan defisit perdagangan bilateral dengan setiap negara mitra. (Aldo Fernando)