Presiden Timor-Leste José Ramos-Horta, yang juga hadir dalam acara tersebut, telah lama memperjuangkan keanggotaan ASEAN. Permohonan resmi pertama kali diajukan pada 2011, saat masa jabatan pertamanya sebagai presiden.
Ramos-Horta (75 tahun), peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1996, telah menggagas ide keanggotaan Timor-Leste di ASEAN sejak tahun 1970-an sebagai upaya menjamin masa depan negaranya melalui integrasi kawasan.
Timor-Leste memperoleh status pengamat di ASEAN pada 2022, namun keanggotaan penuhnya tertunda akibat berbagai tantangan.
Negara berpenduduk 1,4 juta jiwa itu termasuk yang termiskin di Asia, dan berharap bisa memperoleh manfaat dari integrasi ekonominya yang masih berkembang, dengan produk domestik bruto (PDB) sekitar USD2 miliar, hanya sebagian kecil dari total PDB kolektif ASEAN yang mencapai USD3,8 triliun.
Sekitar 42 persen penduduk Timor-Leste hidup di bawah garis kemiskinan nasional, sementara hampir dua pertiga dari total populasi berusia di bawah 30 tahun.
Sumber utama pendapatan pemerintah berasal dari sektor minyak dan gas, namun karena sumber daya tersebut semakin menipis, negara itu berupaya melakukan diversifikasi ekonomi.
Keanggotaan ASEAN memberikan akses bagi Timor-Leste ke berbagai perjanjian perdagangan bebas, peluang investasi, dan pasar regional yang lebih luas.
Dalam wawancara dengan Channel News Asia pada September lalu, Ramos-Horta mengatakan bahwa negaranya harus menjaga stabilitas dan tidak menjadi beban bagi ASEAN.
Dia juga menambahkan bahwa Timor-Leste dapat berkontribusi melalui pengalamannya dalam penyelesaian konflik, termasuk dalam sengketa perbatasan dan Laut China Selatan.
"Jika kami nantinya bisa berkontribusi untuk memperkuat mekanisme ASEAN, seperti mekanisme penyelesaian konflik, itu hal penting. Di setiap negara ASEAN, kami menekankan pentingnya dialog," kata Ramos-Horta.
(NIA DEVIYANA)