Dengan terbitnya Inpres tersebut, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah berkewajiban mendukung pemutakhiran data yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). “Apakah data hari ini sudah sempurna? Belum. Tapi kita sudah sepakat memulainya bersama,” lanjutnya.
Salah satu konsekuensi penerapan Inpres 4/2025 yaitu penonaktifan lebih dari 8 juta data penerima PBI. Meskipun jumlah tersebut besar, kata Gus Ipul, kuota tidak dikurangi melainkan dialihkan ke penerima yang lebih berhak.
“Kuota tetap. Tapi dialihkan kepada penerima manfaat yang kami anggap lebih berhak daripada 7 juta sebelumnya,” tegasnya.
Langkah tersebut diambil berdasarkan verifikasi lapangan atau ground check yang dilakukan Kementerian Sosial bersama BPS. “Kami turun ke lapangan dengan SDM yang kami miliki bersama BPS kepada penerima-penerima manfaat ini. Maka kemudian, ada 2 juta lebih ternyata dia sebenarnya tidak berhak menerima PBI,” jelas Gus Ipul.
Selain itu, pemeringkatan melalui sistem desil DTSEN juga menjadi dasar penilaian. “Kita lihat satu persatu desil 1 sampai 4. Tapi desil 5 dan seterusnya kita anggap tidak layak mendapatkan PBI. Maka kemudian jumlahnya ketemu 7 juta lebih, tambahan 800 ribu jadi 8 juta lebih sekarang (tidak layak PBI),” ujarnya.