Berdasarkan data yang ada, di tanggal 19 Januari 2022, penjualan minyak goreng di outlet naik hingga 400%. Kondisi untuk saat ini, pihak retail sudah mengajukan PO ke distributor dan produsen, namun stok yang dikirimkan masih terbatas. Hal senada juga disampaikan oleh Alfamart dan Indomaret, sejak Desember 2021 pasokan minyak goreng sudah berkurang sampai dengan 75% dan sampai dengan Januari 2022 terus menurun.
"Untuk menutupi kekosongan barang, pihak retail mencari produsen dan distributor baru untuk minyak goreng kemasan sederhana," pungkasnya.
Hal yang berbeda terjadi di pasar tradisional. Menurut keterangan dari Zulfadli, PD Pasar Kota Medan, pedagang pasar masih menjual minyak goreng stok lama dengan harga beli yang diatas HET. Bahkan pengambilan minyak goreng curah dari distributor per hari ini masih di harga Rp.18.000.
Artinya, sampai dengan saat ini, pedagang pasar tradisional masih belum mendapat pasokan minyak goreng dari distributor sesuai HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Kondisi yang demikian cukup merugikan bagi pedagang pasar, mereka pun tidak berani membeli stok minyak goreng dalam jumlah besar.
Menaggapi hal tersebut, Mulyadi selaku Asisten Sales Manager PT Alamjaya Wirasentosa mengatakan bahwa pihak distributor memang mengalami kesulitan dalam penyaluran minyak goreng subsidi ke pasar tradisional dan warung-warung kecil lantaran proses refaksi atau penggantian harga keekonomian memerlukan bukti administrasi yang akuntabel ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), misalnya faktur pajak dan NPWP yang tidak selalu dimiliki oleh pedagang di pasar tradisional.
Mulyadi mengaku masih ada stok minyak goreng yang belum bisa dijual karena merupakan stok dengan harga lama. Terkait hal tersebut, pihak distributor meminta kejelasan dan kepastian program refaksi untuk pedagang di semua tingkatan, serta adanya perspektif yang sama dengan aparat penegak hukum terkait tertahannya stok lama sehingga mereka tidak dianggap melakukan penimbunan.
Norman selaku CAGR Manager PT Wilmar menyatakan bahwa pihaknya tetap memproduksi minyak goreng seperti biasa meskipun sampai dengan saat ini belum ada refaksi dari BPDPKS. Pihak produsen masih menunggu kejelasan mengenai refaksi selisih harga keekonomian yang disubsidi oleh pemerintah tersebut. Terkait dengan implementasi kebijakan DMO dan DPO, Norman menyatakan bahwa produsen minyak goreng cukup mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku.
"Sulit kami menemukan CPO dengan harga Rp.9.300 sebagaimana yang ditetapkan pemerintah." pungkasnya.
Sementara Arif Mandu dari Bulog Divre Sumut menjelaskan bahwa stok minyak goreng di Bulog saat ini juga sudah kosong. Terkait dengan fungsi Bulog sebagai bufferstock, Arif menyatakan siap sepanjang ada penugasan dari pemerintah, karena selama ini penugasan terhadap Bulog lebih terkait pada beras, jagung dan kedele.
Arif menilai bahwa persoalan hilangnya minyak goreng dari peredaran lebih disebabkan karena masih belum jelasnya petunjuk teknis dari Permendag terkait dengan refaksi tersebut.
"Sehingga menyebabkan keraguan pada pelaku usaha di lapangan terkait klaim subsidi," tutupnya. (TYO)