sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Angka Kemiskinan Indonesia Versi Bank Dunia dengan BPS Berbeda, Begini Penjelasannya

Economics editor Nia Deviyana
02/05/2025 16:43 WIB
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan penjelasan terkait perbedaan angka kemiskinan yang dirilis Bank Dunia dengan BPS. 
Angka Kemiskinan Indonesia Versi Bank Dunia dengan BPS Berbeda, Begini Penjelasannya. Foto: iNews Media Group.
Angka Kemiskinan Indonesia Versi Bank Dunia dengan BPS Berbeda, Begini Penjelasannya. Foto: iNews Media Group.

IDXChannel - Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan penjelasan terkait perbedaan angka kemiskinan yang dirilis Bank Dunia dengan BPS. 

Sebagaimana diketahui, Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan pada 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. 

Di sisi lain, data resmi BPS menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa. 

Wakil Kepala BPS, Sonny Harry Budiutomo Harmadi, mengatakan perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda.

Bank Dunia memiliki tiga pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, yaitu international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan.

International poverty line untuk kemiskinan ekstrem sebesar USD2,15 per kapita per hari, negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income) sebesar USD3,65 per kapita per hari, dan negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income) sebesar USD6,85 per kapita per hari. 

"Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam USD PPP atau purchasing power parity, yaitu metode konversi yangmenyesuaikan daya beli antarnegara. Adapun nilai dolar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli," kata Sonny saat ditemui di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (2/5/2025).

USD1 PPP pada 2024, kata Sonny, setara dengan Rp5.993,03.

Angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3 persen versi Bank Dunia, kata Sonny, diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan dengan menggunakan standar sebesar USD6,85 PPP yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik. 

Di sisi lain, Bank Dunia juga menyarankan agar tiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) masing-masing yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.

Sonny mengatakan Indonesia saat ini berada pada klasifikasi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar USD4.870 pada 2023. Namun, perlu diperhatikan bawah posisi Indonesia baru naik kelas ke kategori UMIC dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara USD4.516- USD14.005. 

Sehingga, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi.

"BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan," kata dia.

BPS menghitung garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. 

Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. 

Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Adapun garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. 

Susenas dilaksanakan dua kali dalam setahun. Pada 2024, Susenas dilaksanakan pada Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. 

Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

"Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia," tutur Sonny.

Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan. 

Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp595.242 per bulan. Namun, perlu diperhatikan, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang. 

Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per bulan. 

Garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda. 

Sebagai contoh, garis kemiskinan rumah tangga di DKI Jakarta mencapai Rp4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp2.821.375. 

Perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah.

"Perlu kehati-hatian dalam membaca angka garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. Secara mikro, angka ini tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran orang per orang," kata Sonny.

Sebagai contoh, di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita pada September 2024 adalah Rp846.085 per bulan. Jika ada satu rumah tangga dengan lima anggota (ayah, ibu, dan tiga balita) maka tidak tepat jika diasumsikan bahwa kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita. 

Karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga. 

Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp4.230.425 per bulan. Angka inilah yang lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut.

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement