Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa memproyeksikan proyek B50 ini membutuhkan sekitar 5-6 juta ton CPO setiap tahunnya. Sementara itu, produksi CPO di dalam negeri terus menyusut, terutama pada 2024 yang sebesar 29,5 juta ton dari 2023 sebesar 32,2 juta ton.
"Kalau ini berkurang, artinya mungkin kira-kira 30 persen ekspor CPO kita akan turun, karena produksi CPO kita stagnan. Kalau ekspor berkurang berarti penerimaan pajak ekspor itu juga berkurang," kata Fabby saat dihubungi IDX Channel.
Menurutnya, penerapan biodiesel memang memungkinkan untuk menekan impor bahan bakar fosil. Namun, kata dia, pemerintah perlu memperhatikan dampak lebih jauh, terutama kapasitas produksi dan potensi penurunan pendapatan negara akibat ekspor yang berkurang.
Dia khawatir ketika CPO digunakan sebagai alternatif bahan bakar, maka akan membentuk harga keekonomian baru di pasar. Semisal harga CPO sedang tinggi, maka konsumsi minyak nabati bisa beralih ke alternatif lain dan pada akhirnya Indonesia kehilangan sebagian pasarnya.
"Ketika nanti harga CPO naik terus, harganya semakin mahal, pengguna itu kan bisa melirik ke alternatif bahan bakar nabati yang lain: minyak kedelai, minyak jagung, sunflower oil (minyak bunga matahari) kalau di Eropa," katanya.
(Rahmat Fiansyah)