"Jadi, yang pertama tadi adalah konsumsi, dan yang kedua adalah belanja pemerintah. Di mana pemerintah akan membelanjakan anggaran? Kami memperkirakan akan meningkat pada sektor sosial serta infrastruktur dan belanja modal," tambahnya.
Radhika menekankan bahwa inflasi tetap terjaga dan tidak menjadi ancaman besar bagi daya beli. Kenaikan inflasi yang terjadi belakangan ini terutama disebabkan oleh kenaikan harga logam mulia, bukan oleh lonjakan harga pangan atau jasa.
DBS memproyeksikan inflasi sekitar 2 persen pada 2025 dan 2,5 persen pada 2026, sejalan dengan target Bank Indonesia (BI).
"Inflasi yang stabil memberi ruang bagi daya beli untuk terus pulih. Ini mendukung konsumsi rumah tangga sebagai motor ekonomi utama," katanya.
Dengan kondisi domestik yang solid dan sentimen yang makin membaik, DBS menilai bahwa risiko terhadap daya beli umumnya berasal dari luar negeri, terutama kebijakan suku bunga dan tarif Amerika Serikat.