Panutan menjelaskan, selain mengubah batas miskin ekstrem dari USD 1,9 menjadi USD 2,15 per kapita per hari, Bank Dunia juga mengubah asumsi paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP). Yakni, dari PPP 2011 menjadi PPP 2017.
Perubahan terhadap asumsi PPP tersebut, sambung dia, dihitung oleh Bank Dunia melalui International Comparison Program (ICP), dan digunakan agar perbandingan antar negara dapat dilakukan secara lebih baik.
"Perubahan PPP ini terjadi karena adanya faktor inflasi," jelas Panutan.
Masih menurut Panutan, jika didasarkan pada garis USD 2,15 per kapita per hari, dan PPP tahun 2017, Bank Dunia menghitung bahwa garis kemiskinan ekstrem Indonesia setelah dikonversi ke rupiah adalah Rp11.605 per kapita per hari, bukan sekitar Rp32.812 per kapita per hari, seperti yang diberitakan oleh banyak media.
"Bank Dunia sendiri menyatakan jumlah penduduk miskin ekstrem di dunia tidak berubah signifikan setelah perubahan metode tersebut, termasuk di Indonesia," terangnya.
Panutan juga menegaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan untuk mengurangi kemiskinan ekstrem hingga mendekati 0 persen pada 2024. Untuk mewujudkannya, ujar dia, pemerintah telah melakukan konvergensi program penanganan kemiskinan ekstrem, yang difokuskan pada tiga pilar.