IDXChannel - Biaya logistik di Indonesia masih menjadi yang tertinggi dibanding negara-negara pesaing utama di kawasan ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Hasil studi Bank Dunia yang dituangkan dalam laporan berjudul Conecting to Compete 2018 menunjukkan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 23 persen.
“Tidak semua beban biaya logistik ada di Pelindo, tapi juga di instansi lain. Karena itu pasca merger, kita fokus pada pekerjaan rumah yang bisa diselesaikan Pelindo,” ujar Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), Arif Suhartono, dalam keterangan resminya, Kamis (28/7/2022).
Dengan target pertumbuhan tahunan sekitar lima persen, menurut Arif, Pelindo tengah membidik capaian 17,3 juta TEUs hingga akhir tahun ini. Target tersebut diyakini bakal mampu dicapai dengan penyeragaman proses bisnis, dan sistem teknologi informasi, serta peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia sebagai tindak lanjut dari proses merger.
Salah satu upaya perbaikan kinerja tersebut dilakukan di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Kondisi sebelum transformasi dan merger perusahaan pada Oktober 2021 lalu, sistem data yang dimiliki di Pelabuhan Ambon masih cukup memprihatinkan.
“Mencari kontainer (di Pelabuhan AMbon) saat itu seperti mencari kutu di lapangan,” tutur Arif.
Hal itu dibenarkan oleh General Manager (GM) Pelindo Regional 4 Ambon, I Nengah Suryana Jendra. Menurut Nengah, kondisi tersebut terjadi tidak hanya karena sistemnya yang masih manual, tapi juga kondisi lapangan yang semrawut. Dijelaskannya, kontainer atau peti kemas disusun berdasarkan Blok, Slot, Row, dan Tier. Pada awalnya, terminal peti kemas bercampur antara lokasi bongkar dan lokasi pemuatan.
“Driver truk kontainer butuh waktu cukup lama untuk menemukan peti kemas, baik untuk membongkar atau memuat barang,” ujar Nengah.
Karena itu, Pelindo memulai transformasi dengan menata terminal peti kemas. Diawali dengan membuat pemetaan, memisahkan blok bongkaran, blok muatan, dan membuat lokasi khusus untuk Cargo Consolidation and Distribution Center (CCDC).
“Di lokasi inilah barang akan dibongkar dari peti kemas (stripping) dan dimuat ke dalam peti kemas (stuffing). Blok-bloknya jadi jelas,” ungkap Nengah.
Pelindo Regional 4 kemudian mendatangkan peralatan baru untuk mempercepat proses bongkar muat. Untuk membongkar dari atau memuat barang ke barang di pelabuhan, Pelindo menggunakan dua container crane (CC). Alat bongkar muat di terminal peti kemas juga diganti dari Reach Stackers menjadi Rubber Tyred Gantry (RTG). Pelindo memiliki lima RTG di terminal peti kemas Ambon.
Penggunaan RTG, ujar Nengah, bisa mempercepat proses bongkar muat karena bisa menyusun peti kemas sampai lima tumpukan. Sebelumnya, Reach Stackers hanya bisa menumpuk peti kemas maksimal sampai tiga tier.
“Hasilnya, kapasitas lapangan peti kemas Ambon naik dari semula 190 TEUs (twenty-foot equivalent unit) menjadi 250 TEUs,” tutur Nengah.
Satuan TEUs setara dengan kontainer berukuran 20 feet dengan volume maksimal 25 ton. Jam operasional pun diubah mengikuti penambahan kapasitas lapangan peti kemas tersebut. Dulu, ungkap Nengah, jam 10 malam pelabuhan sudah gelap. Namun sekarang, manajemen Pelindo Regional 4 Ambon menerapkan waktu operasi selama tujuh hari kali 24 jam, dengan sistem tiga shift.
“Sabtu dan Minggu pun sekarang kita 'sikat'," papar Nengah.
Namun, lanjut Nengah, pada akhirnya yang paling penting dalam proses transformasi tersebut adalah change management. “Percuma saja lapangan sudah ditata bagus, peralatan yang mumpuni didatangkan, dan juga punya aplikasi yang bagus, kalau orangnya tidak berubah. Karena itu, mindset harus diubah, mulai dari jajaran pimpinan sampai operator di lapangan,” tandas Nengah.
Manajemen Pelabuhan Ambon lalu memulai proses perubahan mindset dengan membawa para tenaga planner dan controller ke beberapa pelabuhan lain untuk belajar praktik kerja terbaik (best practices) dari mereka.
Terminal peti kemas yang dituju antara lain Jakarta International Container Terminal (JICT) di Pelabuhan Tanjung Priok dan terminal peti kemas di Pelabuhan Dwikora di Pontianak. Mereka juga menjalani pelatihan di fasilitas Learning Center Pelindo.
“Kami membekali mereka bagaimana business process yang baru. Kami memberikan kepada mereka gambaran besar tujuan tranformasi ini. Misalnya, para operator di lapangan perlu tahu apa tujuan akhir dari transformasi ini, bukan hanya memahami pekerjaan mereka sendiri. Mereka harus tahu mengapa proses bongkar muat harus cepat,” bebernya.
Proses perubahan ini, lanjut Nengah Suryana, dimulai dari para manajer di level menengah, terutama para perencana dan kontroler karena kecepatan dan ketepa tan seluruh proses bongkar muat ada di tangan mereka.
“Selain itu, dengan posisi middle management, mereka bisa menjadi pembawa perubahan (agent of change). Mereka bisa menjadi role model bagi karyawan yang lain," papar Nengah.
Proses bongkar muat di pelabuhan sama pentingnya dengan penataan lapangan peti kemas. Setelah proses transformasi, Pelabuhan Ambon sudah menerapkan Windows System untuk mengatur jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal agar tidak terjadi penumpukan kapal di pelabuhan.
“Kecepatan bongkar muat di kapal harus selaras dengan yang di lapangan peti kemas agar tidak terjadi penumpukan (bottle neck),” tukas Nengah.
Hasil proses transformasi ini adalah percepatan waktu sandar (port stay) dan kenaikan produktivitas. Waktu sandar yang semula tiga hari, sekarang bisa dipercepat menjadi satu hari. Produktivitas juga meningkat cukup signifikan. Proses bongkar muat di pelabuhan yang semula hanya 8-10 TEUs per crane per jam menjadi 20 TEUs.
“Karena kita sekarang punya dua, jadi kapasitasnya naik jadi 35-40 per crane per jam," sebut Nengah.
Peningkatan kinerja ini dirasakan perusahaan pelayaran Meratus Line. Kepala Cabang Meratus Line Ambon, Samuel Jonathan, mengatakan aktivitas bongkar muat sekarang sudah bisa 800-an boks sekali sandar dari sebelumnya hanya 400-500 boks.
“Kapal-kapal juga nggak perlu antre karena sudah ada jadwalnya. Kita juga harus ikut irama Pelindo karena kalau kita lambat, kita sendiri yang rugi,” ujar Samuel.
Meratus memiliki dua kapal yang melayani Ambon setiap dua minggu. Transformasi itu merupakan bagian dari rencana besar Pelindo untuk menjadi perusahaan pengelola pelabuhan berkelas internasional. Pada 2025, Pelindo menargetkan pengelolaan peti kemas di atas 20 juta TEUs.
Pada 2019, Pelindo menangani 16,09 juta TEUS, namun sempat turun pada 2020 dan 2021 karena pandemi. Selama dua tahun pandemi, Pelindo menangani masing-masing 15,54 juta TEUs dan 16,04 juta TEUs. (TSA)