Di awal pembicaraan kedua pihak, perusahaan penyewa justru mempertegas patokan bunga sewa yang diberikan kepada maskapai penerbangan pelat merah itu. Dimana, bunga yang diberikan untuk memperoleh keuntungan bisnis.
"Memang pertanyaan atau diskusi atau tanya jawab yang kami lakukan, mereka (lessor) mengatakan kalau orang lain jual harvard Rp 1 miliar dan Anda jual Rp 2 miliar, ya pantas dong saya sewa ke Anda 2 kali lipat," ungkap Irfan mencontohkan.
Namun, sejak 2012-2014 masing-masing pesawat yang sudah disewakan lessor tidak dikenakan bunga. Emiten dengan kode saham GIAA justru membayar sewa bulanan dengan jangka waktu sewa selama 8-12 tahun lamanya.
Irfan sendiri enggan merinci secara pasti waktu pemberlakuan bunga sewa pesawat sebesar 24,7 persen yang ditetapkan lessor. Menurutnya, pada 2020 tunggakan manajemen kepada lessor mencapai USD 854 juta atau setara Rp 12,1 triliun. Nilai itu merupakan harga sewa dan di luar bunga sewa.
"Yang sebenarnya utang beneran belum dibayar itu USD 854 juta. USD 854 juta ini sewa yang kami tidak bayar, tidak dikenakan bunga sama sekali. Yang utang USD 854 juta ini sewa pesawat bulanan yang kita tidak bayar, jadi seperti sudah tertunggak, jadi tidak ada isu soal bunga. Jadi USD 854 juta ini di tahun 2020," ungkapnya.