IDXChannel - Wacana tentang polusi udara dan buruknya kualitas udara di kawasan Jakarta dan sekitarnya tengah menjadi perbincangan warganet.
Bahkan, banyak beredar di sosial media menigkatnya angka penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang dikeluhkan oleh para dokter di ibu kota.
Pemerintah mulai melakukan koordinasi intensif terkait penyelesaian polusi udara Jakarta. Sejumlah skema kebijakan ditawarkan mulai dari wacana kembali Work From Home (WFH), hingga pajak pencemaran lingkungan.
Diketahui sumber polusi udara di Jakarta disinyalir datang tak hanya dari asap kendaraan, namun juga operasional sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara dan emisi yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik produksi di sekitaran ibu kota.
Studi Vital Strategies pada 2020 mengungkapkan sumber utama polusi Jakarta. Di antaranya meliputi asap knalpot kendaraan menyumbang lebih dari 40 persen emisi, pembakaran batu bara menyumbang sebesar 14 persen polusi dan aktivitas konstruksi menyumbang 13 persen.
Selain pembakaran terbuka biomassa atau bahan bakar lainnya menyumbang polusi 11 persen, debu jalan menyumbang 6 hingga 9 persen, aerosol sekunder dan garam laut menyumbang 6 hingga 16 persen, dan partikel tanah tersuspensi menyumbang 10 hingga 18 persen.
Tak hanya itu, Komisi IV DPR RI menyoroti pabrik-pabrik yang diduga juga menjadi penyebab memburuknya kualitas udara Jakarta dan sekitarnya.
Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan mengatakan, asap dari pabrik industri juga menjadi penyumbang polusi udara Jakarta.
Oleh karena itu, ia mendorong Pemda melakukan evaluasi berkala Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) terhadap pabrik.
"Industri sekitar Jabodetabek harus diperiksa benar, masalah Amdal dan penanganan polusinya agar sesuai aturan yang ada. Jika terbukti melanggar, Pemda harus berani ambil tindakan mencabut izin usahanya," kata Daniel, Jumat (15/8).
Bursa Karbon Bisa Jadi Solusi
Bursa karbon bisa menjadi solusi jangka panjang dalam mengurangi polusi udara di Jakarta dan wilayah RI lainnya.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa bursa karbon sangat diperlukan dalam mendukung percepatan target Net Zero Emission pada 2050.
“Ini karena sektor yang memiliki unit karbon positif akan mendapat insentif dari skema perdagangan karbon. Mekanisme bursa karbon memang sudah lama ditunggu, tentunya kualitas dari pengaturan teknis penyelenggara bursa karbon menjadi penting,” katanya dalam keterangan resmi di akhir April lalu.
Selain itu, adanya bursa karbon mampu meningkatkan validasi data yang lebih akurat serta real-time basis transaksi karbon perusahaan-perusahaan emiten.
Adanya bursa karbon juga dapat meningkatkan pengawasan bagi perusahaan yang akan mengeluarkan emisi. Dalam artian, perusahaan peserta bursa karbon dapat diawasi oleh pihak berwenang terutama terkait jumlah emisi yg dikeluarkan.
Sebelumnya, Kementerian ESDM resmi meluncurkan meluncurkan Perdagangan Karbon Subsektor Tenaga Listrik di akhir Februari lalu.
Mekanisme ini akan dijalankan oleh 99 PLTU batu bara yang dimiliki oleh 42 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Data Global Energy Monitor menyebut terdapat 16 PLTU berbasis batu bara yang berada tak jauh dari Jakarta. Dari jumlah ini, sebanyak 10 PLTU berlokasi di Banten dan enam PLTU di Jawa Barat. (Lihat grafik di bawah ini.)
ESDM juga menjelaskan bahwa target pengurangan emisi CO2 sektor energi Indonesia sebesar 358 juta ton CO2e atau setara 12,5 persen dengan kemampuan sendiri, dan 446 juta ton CO2e atau 15,5 persen dengan bantuan internasional dari skenario Business as Usual (BAU) pada 2030.
Berdasarkan peta jalan yang telah disusun ESDM, pelaksanaan perdagangan karbon berpotensi dapat menurunkan emisi GRK sebesar lebih dari 36 juta ton CO2e di 2030.
Peluncuran perdagangan karbon ini merupakan tindak lanjut dari amanat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.
Meski demikian, perdagangan karbon ini masih belum melalui bursa karbon secara resmi. Skema yang dijalankan dalam perdagangan karbon adalah sistem perdagangan karbon mandatori atau emission trading system (ETS) yang dikenal juga dengan nama Cap and Trade Scheme.
ETS memang berbeda dengan skema pajak karbon. Dalam pajak karbon, pajak dikenakan atas karbon yang dihasilkan jika melebihi dari batas yang telah ditetapkan dalam peraturan yang berlaku.
Misalkan, sebuah PLTU menghasilkan 1,5 juta ton CO2 dalam setahun. Berdasarkan kebijakan yang berlaku, CO2 yang boleh dihasilkan oleh PLTU tersebut hanya 700 ribu ton. Maka, PLTU tersebut harus membayar 800 ribu ton CO2 berupa pajak.
Adapun dalam UU No 6 2021 telah ditetapkan tarif pajak karbon minimal Rp30 per kilogram CO2 equivalent. Maka, jika PLTU tersebut mengeluarkan emisi melebihi batas 800 ribu ton CO2 harus membayar Rp24 miliar untuk pajak karbon.
Jika ternyata PLTU tersebut dapat menurunkan emisi karbon pada level 700 ribu ton per tahun maka tidak akan terkena pajak karbon.
Tidak seperti pajak karbon, ETS tidak menggunakan skema penalti. PLTU nantinya tetap diberikan kuota minimal CO2. Jika PLTU menghasilkan CO2 lebih besar dari batas yang ditentukan, maka PLTU ini harus membeli kredit emisi ke perusahaan lain yang menghasilkan emisi di bawah kuota minimal.
Cara tersebut diyakini akan memicu terjadinya perdagangan yang alami antara yang membutuhkan kuota CO2 dan yang punya tabungan CO2 dan harganya akan bergantung pada supply dan demand pasar atau diatur oleh pemerintah.
Adapun menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), selain dari subsektor pembangkit listrik, perdagangan karbon di Indonesia juga akan diramaikan oleh sektor lain yang akan bertransaksi di bursa karbon. Seperti sektor kehutanan, perkebunan, migas, industri umum, dan lain sebagainya. (ADF)